Minggu, 16 September 2012

Bahasa Cinta

Ketika seorang anak terlahir. la menebar rasa bahagia. Bagi orang tuanya, bagi saudara saudarinya, bagi mereka yang ada disekelilingnya. "Tidaklah lahir seorang anak dalam keluarga seseorang melainkan dia menjadi kernuliaan tersendiri bagi mereka yang sebelumnya tidak ada". (hadist riwayat Thabrani dalam Al Ausath). Terlantunlah do'a bagi ayah ibunya, "Barakalahu laka fil mauhubi laka wa syakarta al waahiba wa balagha asyuddahu wa ruziqta birrohu" (Barokah Allah semoga terlimpah pa¬damu atas pemberian yang dianugrahkanNYA dan kau bersyukur atas pemberian itu hingga ia mencapai dewasa dan menjadi rizqi bagimu kebaikannya). Kehidupan baru dimulai. Sosok kecil yang membutuhkan belai kasih, sapa cinta, setulus jiwa. Bukan hanya dari ibunya atau hanya ayahnya tapi dari keduanya. agar kasih sayang utuh dapat terasa dan terbina seimbang. Rasa cinta orang tua bagi si kecil adalah kebahagiaan yang tak terbeli. Karena cinta tak terbatas kata. Karena dengan cinta sikecil akan tumbuh bahagia. "The Five Love Languages of Children", sebuah buku yang memetakan tentang cinta. Menyatakan bahwa, bahasa cinta bisa diwujudkan dengan, Sentuhan fisik (affection) Belaian, pelukan, ciuman, dan sentuhan fisik lain adalah ciri dari bahasa cinta jenis ini. Penelitian menyimpulkan perkembangan emosional para bayi yang sering dipeluk, dicium dan digendong akan lebih baik daripada mereka yang tumbuh tanpa kontak jasmani dalam waktu lama dengan orang orang yang ada disekitarnya terutama orang tuanya. Kata kata penegas (words of Affirmation Actions) Bahasa cinta yang diwujudkan dengan kata penuh kasih, kata pujian, kata bimbingan dan semua yang menunjukkan kepedul ian kita pada anak melalui kata, adalah jenis bahasa cinta ini. Anak akan merasa aman, merasa berharga, merasa diperhatikan, dan ia akanmengingatnya sepanjang hayat. Waktu berkualitas (quality time) "Full, undivided attention" waktu yang habis terfokus untuk memperhatikan anak dengan mengajaknya bertamasya, memancing, berenang, membacakan cerita, mendengarkan kisah dan keluh kesahnya. Menjadi salah satu bukti cinta pada anak. Hadiah (receiving gifts) Memberi hadiah pada anak merupakan ungkapan cinta yang melekat kuat. Bentuknya tidak harus berupa materi tapi dapat berupa pujian, ciuman dan pelukan.Memberinya hadiah Ketika ia mematuhi perintah, ketika ia berhasil menyelesaikan masalah,membantu pekerjaan orang tua, akan memberinya semangat dan motivasi untuk melakukan yang lebih dan lebih baik lagi. Layanan (acts of service) Membantu anak belajar, menyiapkan bekal, mencuci dan merapikan bajunya, apapun layanan terbaik pada anak, yang ia perlukan jasmani dan rohani, walau tidak memenuhi semua yang ia inginkan, juga merupakan wujud cinta. Lima bahasa cinta di atas, mungkin cukup memberikan gambaran pada orang tua bagaimana memahami anak dengan cinta dalam bahasa mereka. Semoga kita dapat menjadi orang tua yang bijak ketika menghadapi anak anak kita. "Siapa yang tak mengasih ia tak dikasihi" (Al Hadist)

Selasa, 04 September 2012

Tersesat Tanpa Sadar

Apabila kita telah yakin berada di atas jalan yang benar, diatas Sunnah dan Qur’an, maka tetaplah waspada! Jangan cepat merasa aman.  Seiring berjalannya waktu dan kehidupan dunia ini, bisa jadi kita telah menyimpang tanpa sadar dari jalan yang benar.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa di antara ciri-ciri kehidupan manusia di akhir zaman (tanda-tanda hari Kiamat)  adalah munculnya fitnah (ujian/cobaan) besar berupa bercampuraduknya  kebenaran dan kebathilan. Iman menjadi goyah, sehingga seseorang beriman pada pagi hari dan menjadi kafir pada sore hari, beriman pada sore hari dan menjadi kafir pada pagi hari.
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bersegeralah kalian melakukan amal shalih (sebelum datangnya) fitnah-fitnah bagaikan malam yang gelap gulita, seseorang dalam keadaan beriman di pagi hari dan menjadi kafir di sore hari, atau di sore hari dalam keadaan beriman, dan menjadi kafir pada pagi hari, dia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.”   (HR. Muslim, no. 186)

Godaan Dunia Paling Merusak Manusia
Kekhawatiran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam  akan bahaya godaan kesenangan dunia sehingga seorang manusia mau (sadar atau tanpa sadar)  ’menjual’ agamanya, tercermin dalam salah satu sabda beliau :
“Bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian akan tetapi yang aku khawatirkan atas kalian adalah dunia.” (HR Bukhari dan Muslim dari shahabat Amr bin Auf).
Beliau juga bersabda:
“Bukan kesyirikan yang aku khawatirkan atas kalian, akan tetapi yang aku khawatirkan atas kalian adalah perhiasan kehidupan dunia. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih beliau 6196 dan Imam Muslim no 2296 dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir. Adapun riwayat dengan lafadz (masy syirku’). Wallahu a’lam, tidak terdapat dalam lafadz keduanya. Atau mungkin salah dalam mendengarnya, yang ada adalah lafadz di atas).
Berhati-hatilah kamu, karena tidak akan ada sekaligus pada diri seseorang rasa cinta kepada ilmu dan cinta kepada dunia. Namun, yang terjadi adalah apabila rasa cinta kepada dunia mendominasi, maka rasa cinta kepada ilmu akan menyingkir, begitupun sebaliknya. Maka jika cintamu terhadap dunia mendominasi pada dirimu, kamu pasti akan meninggalkan ilmu dan kamu akan menyia-nyiakan dirimu. (Syaikh Muhammad Ali Imam berkata : “Masuk ke dalam dunia adalah mudah sekali, namun keluar darinya sungguh sangat sulit.”)
Betapa banyak orang yang telah hilang sia-sia padahal dulunya mereka adalah penuntut ilmu dan sangat rajin menyempurnakan ibadahnya, tapi kemudian ia bergantung kepada dunia, akhirnya hilang dan menjadi orang yang tidak berguna.
Godaan Harta dan Kedudukan  Bermula Dari Sifat Ambisius
Dalam Sunan Abu Dawud dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam:
“Berhati-hatilah kalian dari syuh (ambisi), karena hal itu menghancurkan orang yang sebelum kalian. Memerintahkan mereka untuk memutus hubungan silaturrahmi, maka mereka memutusnya. Memerintahkan mereka untuk tidak berinfak, mereka pun tidak berinfak. Memerintahkan mereka untuk berbuat jahat, mereka pun berbuat jahat.”
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam memberitakan bahwa syuh (ambisi) itu memaksa manusia untuk memutuskan hubungan silaturrahmi, melakukan kejahatan, dan kebakhilan (kikir).
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:
“Tidaklah dua ekor serigala lapar yang dilepaskan dalam sekawanan kambing akan menyebabkan daya rusak (bagi kawanan kambing tersebut) yang lebih besar dibanding daya rusak terhadap agama seseorang akibat ambisinya terhadap harta dan kedudukan” (Diriwayatkan dari putra Ka’b bin Malik dari ayahnya, Hadits Shahih, HR. Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Hibban. Lihat Shahih At-Targhib Wat Tarhib no. 1710)
Makna hadits ini, kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala lapar yang dibiarkan bebas di antara sekawanan kambing masih belum seberapa apabila dibandingkan kerusakan yang muncul karena ambisi seseorang untuk mendapatkan kekayaan dan kedudukan. Karena, ambisi untuk mendapatkan harta dan kedudukan akan mendorong seseorang untuk mengorbankan agamanya. Adapun harta, dikatakan merusak karena ia memiliki potensi untuk mendorongnya terjatuh dalam syahwat serta mendorongnya untuk berlebihan dalam bersenang-senang dengan hal-hal mubah. Sehingga akan menjadi kebiasaannya. Terkadang ia terikat dengan harta lalu tidak dapat mencari dengan cara yang halal, akhirnya ia terjatuh dalam perkara syubhat (meragukan/ berpotensi bahaya). Ditambah lagi, harta akan melalaikan seseorang dari zikrullah. Hal-hal seperti ini tidak akan terlepas dari siapapun.
Daya rusak ambisi terhadap harta dan kedudukan akan melalui dua langkah yang berjalan dengan mulus, tanpa sadar, tiba-tiba manusia telah tersesat jauh dari agamanya (menyimpang tanpa sadar) , yaitu :
Mula-mula, rasa cinta harta dan kedudukan yang membuat seseorang sangat berupaya mencarinya dari jalan-jalannya yang mubah (halal tapi tak ada manfaatnya) namun sangat serius dalam memperolehnya dari berbagai jalannya, dengan getol dan bersusah payah.
Dalam kondisi atau tahap ini ambisinya mungkin belum berakibat buruk yang nyata, kecuali sekadar menyia-nyiakan umurnya, yang semestinya dapat ia manfaatkan untuk memperoleh derajat yang tinggi dan kenikmatan akhirat yang kekal. Umurnya dihabiskan secara sia-sia dengan ambisi dalam mencari rezeki, yang sebenarnya rezeki telah dijamin dan dibagi-bagikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal seseorang tidak mendapatkan rezeki melainkan sesuai dengan apa yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala takdirkan untuknya. Seorang yang berambisi menyia-nyiakan waktunya yang mulia dan berspekulasi dengan dirinya…
Kemudian, ambisi terhadap harta dan kedudukan telah berkembang jauh dari yang tadinya menggunakan jalan-jalan halal yang mubah kemudian mulai menggunakan jalan-jalan yang haram dan tidak menunaikan hak yang wajib. Ini termasuk syuh (ambisi) yang tercela.
Ketika ambisi kepada harta itu sampai kepada derajat semacam ini, maka dengan ini agama seseorang akan dengan nyata terkurangi. Karena ia tidak melaksanakan kewajiban dan malah melakukan yang haram, yang menyebabkan menurunnya agama seseorang tanpa diragukan sehingga tidak tersisa lagi kecuali sedikit. (Syarh Hadits Ma Dzi’bani Ja’i’ani)
Perkara yang terpenting bagi seorang hamba adalah menjaga agamanya. Serta merasa rugi apabila muncul kekurangan di dalam menjalankan agama. Cinta seorang hamba terhadap harta dan kedudukan, upaya yang ia tempuh untuk mendapatkannya, ambisi untuk meraih harta dan kedudukan, serta kerelaan bersusah-payah untuk mengalahkan, hanya akan menyebabkan kehancuran agama dan runtuhnya sendi-sendi agamanya. Simbol-simbol agama akan terhapus. Bangunan-bangunan agamanya pun akan roboh. Ditambah lagi bahaya yang akan ia hadapi karena menempuh sebab-sebab kebinasaan.
Waspadalah!

Senin, 03 September 2012

KIASAH JURAIJ

pada jaman dahulu kala tersebutlah pemuda bernama Juraij. Dia sangat rajin dan tekun beribadah. Hari-harinya dihabiskan untuk berdzikir pada Alloh dan mengerjakan sholat-sholat sunah. Hal itu selalu dilakukannya di sebuah mushola yang berada di samping rumahnya.
JURAIJ hidup bersama ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan, dan selalu memerlukan bantuan Juraij bila akan melakukan sesuatu
Sore itu ibu juraij sedang duduk di serambi.
“Juraij… Tolong ambilkan selimut, Ibu merasa kedinginan nak…”
“Baik bu…”
Juraij menyelimuti ibunya
“Juraij, kamu jangan jauh-jauh dari ibu, ibumu sekarang sering merasa tidak enak badan…”
“Aku tidak kemana-mana bu, paling-paling aku ada di mushola sebelah, dan bila ibu memanggilku, pasti aku mendengarnya.
Pada suatu pagi Juraij sedang melaksanakan sholat sunnah, tiba-tiba ibunya menggigil kedinginan dan memanggil nya. Juraij termenung dalam sholatnya. “Waduh…Ibu memanggilku padahal aku sedang sholat, bagaimana ya…ah nanti sajalah setelah sholat selesai aku akan mendatangi panggilan ibu.”
Setelah selesai sholat Juraij menunggu panggilan ibunya. Setelah beberapa saat tidak ada suara panggilan lagi ia niat melanjutkan sholatnya. Namun di pertengahan sholatnya, kembali ibunya memanggil. Lagi-lagi Juraij kebingungan dalam menentukan mana yang lebih didahulukan, sholatnya atau ibunya. Rupanya Juraij lebih memilih sholat sunnahnya daripada mendatangi panggilan ibunya, dengan pertimbangan setelah sholatnya selesai ia akan mendatangi ibunya.
Setelah sholat Juraij tidak segera mendatangi ibunya, tetapi diam menunggu panggilan ibunya. Setelah beberapa saat ternyata tidak ada panggilan, Juraij memutuskan untuk kembali meneruskan sholat, ia beranggapan bahwa mungkin ibunya sudah tidur dan tidak memerlukannya lagi. Namun anggapan itu ternyata salah, karena dipertengahan sholat ibunya kembali memanggil.
“Juraij…kalau kau mendengar panggilan ibumu kemarilah …!
“Bagaimana ya? Sholatku apa ibuku….Ah nanti sajalah. Aku selesaikan sholat dulu…”
Karena Juraij tidak segera datang, maka ibunya berusaha sendiri meraih selimut yang berada di atas meja samping tempat tidur. Tapi apa yang terjadi ibu Juraij terpeleset dan jatuh tersungkur. Ibu Juraij mengerang kesakitan, tapi Juraij juga tak kunjung datang menolong. Maka ibu Juraij sangat sangat sakit hati pada Juraij, sudah dipanggil tiga kali tidak mau datang bahkan sekarang ibunya terjatuh. Lalu sang ibu berdoa, “Ya Alloh, janganlah Engkau matikan anakku sebelum ia dipemalukan oleh seorang pelacur”
Beberapa saat berselang setelah ibunya mengutuk Juraij, datanglah seorang pengembala kambing menemui Juraij.
“Wahai Juraij, seperti biasanya aku ingin numpang bermalam di rumahmu, sebab aku nanti akan kemalaman bila memaksakan diri pulang ke desaku”
Juraij mempersilahkan tamunya untuk menempati kamar yang masih kosong. Tetapi tak lama kemudian datang seorang wanita cantik.
“Permisi….apakah anda yang bernama tuan Juraij?”
“Betul…, adakah yang bisa saya bantu?”
“Tuan Juraij, maukah anda menemaniku tidur semalam saja”
Bagaikan disambar petir, Juraij sangat terkejut mendengar ucapat wanita itu.
“Siapa kamu sebenarnya dan mengapa sampai kamu mengatakan hal ini kepadaku”
“Aku seorang pelacur. Menurut seorang ahli nujum, aku akan memperoleh ketenaran bila aku digauli oleh seorang ulama’.”
“N a’u d z u b i l l a h i m i n d z a l i k…! Hai perempuan kotor! Pergilah dari hadapanku sekarang juga!’
“Baiklah aku akan pergi, tetapi sekarang malam telah larut, sedangkan rumahku jauh, bolehkah aku bermalam di rumahmu?”
“Boleh saja, di sebelah rumahku tersedia kamar-kamar untuk musafir, kamu dapat menempatinya, tapi jangan sekali-kali mengganggu aku, dan yang lebih penting besok pagi-pagi kamuharus sudah pergi dari sini”.
Dengan perasan kecewa dan sakit hati pergilah wanita itu ke kamar yang telah ditunjukkan oleh Juraij. Wanta itu bertemu dengan pengembala yang sedang berdiri di depan kamarnya. Pengembala terpesona melihat kecantikan wanita itu. (Ck..ck..ck ada perempuan cantik mau nginap di sini juga rupanya).
“Apakah tuan juga akan bermalam di sini?’ tanya wanita itu membuyarkan lamunan pengembala.
“I…ya..”jawab pengembala gugup.
“Tuan..Saya ini penakut, bolehkah saya tidur di kamar tuan…”
Pucuk dicinta ulampun tiba, akhirnya malam itu pengembala yang kebetulan rendah imannya mendapatkan apa yang diinginkannya dari wanita itu. Terjadilah perbuatan nista, yang sangat dimurkai Alloh antara pengembala dengan wanita pelacur.
Waktu bergulir sekian lamanya, Juraij tetap mengisi hari-harinya penuh dengan kegiatan ibadah, sehingga sering melalaikan kewajibannya untuk berbakti pada ibunya yang sangat memerlukan bantuannya. Begitu pula dengan wanita yang pernah singgah di rumah Juraij, beberapa waktu setelah berzina dengan pengembala, dia hamil dan membiarkan kandungannya kian membesar. Dia berniat kelak bayi yang dikandungnya dapat membalas sakit hatinya pada Juraij.
Saatnya telah tiba, nampak dikejauhan seorang wanita menggendong bayi masuk desanya Juraij. Dia bercerita pada setiap orang yang dijumpainya bahwa bayi yang digendongnya itu adalah hasil hubungan gelap dia dengan Juraij, sekarang dia hendak meminta pertanggungjawaban pada Juriaj. Penduduk desa menjadi gempar sebab diantara mereka ada yang percaya dan ada yang tidak percaya. Namun karena kelihaian wanita itu memainkan kata-kata, hampir seluruh penduduk desa mempercayainya.
Maka berbondong-bondonglah orang-orang menuju rumah Juraij.
“Ayo kita hancurkan mushola Juraij yang ternyata selama ini adalah kedok kemaksiatannya!”
“Kalau perlu kita hajar dia!”
“Selama ini kita telah ditipu olehnya!”
Ketika sampai di rumah Juraij mereka mendapati Juraij sedang sholat di musholanya. Mereka langsung menyeret Juraij keluar dari mushola. Sebagian dari mereka memukuli Juraij.
“Rasakan ini pezina!….Rasakan ini penipu!…”
Sebagian lagi beramai-ramai merobohkan mushola Juraij hingga rata dengan tanah. Ditengah pukulan dan makian yang bertubi-tubi Juraij menjaga kesadarannya.
“Tunggu dulu!…. Tunggu dulu!….. Sabarlah wahai saudaraku… Apa yang terjadi denganku sehingga kalian memperlakukan aku seperti ini?”
“Hai Juraij! Percuma saja kau sholat! Selama ini ternyata kau telah menipu kami! Mushola yang kau bangun dan kebaikan yang kamu perbuat hanyalah sebagai kedok dari kebejatan akhlaqmu! Kamu telah berbuat zina!”.
“Adakah yang menjadi saksi dari perbuatanku?”
Datanglah seorang laki-laki dengan membawa bayi.
“Inilah buktinya! Bayi ini adalah hasil perbuatan bejat kamu dengan seorang wanita yang setahun lalu menginap di rumahmu karena kemalaman di tengah jalan. Baru saja wanita itu datang kemari membawa batin ini…!
“Masya Alloh… Saudara-saudaraku, dapatkah kalian bersabar sejenak, aku akan sholat dan akan membuktikan siapa sebenarnya ayah dari bayi ini”.
Mereka lalu membiarkan Juraij mengerjakan sholat. Setelah selesai sholat Juraij berdoa mohon petunjuk kepada Alloh, lalu ia mendekati bayi itu dan memegang kepala dan perut serta bertanya,
“Wahai bayi… siapakah ayahmu sebenarnya?”
Dengan kuasa Alloh bayi itu menjawab, “Ayahku adalah seorang pengembala kambing yang setahun lalu bermalam di rumah tuan Juraij…”
Maka orang-orang terjekut melihat kejadian itu. Perasaan mereka tak karuan, antara heran dan bingung melihat bayi bisa ngomong dan melihat perbuatan mereka yang telah menganiaya seorang ulama’ ahli ibadah.
Ditengah kegaduan itu tiba-tiba muncul ibu Juraij menghampirinya.
“Wahai Juriaj… Tidakkah kau ingat ketika ibu memanggilmu sampai tiga kali kau tidak mendatangi panggilan ibumu bahkan menjawab pun tidak. Saat itulah ibu sangat marah kepadamu karena kau lebih mementingkan sholat sunnahmu daripada kewajibanmu berbakti kepada orang tua. Saat itu ibu menyumpahimu…. Apa yang baru saja terjadi menimpamu adalah akibat sumpah dan kutukan ibu…. Maafkan ibumu…nak…”
Serta merta Juraij bersimpuh di kaki ibunya, air matanya berlinang……
“Ibu… maafkan anakmu… bu… Aku berjanji tidak akan mengecewakan ibu lagi…”
Setelah mengetahui permasalahannya maka menyesallah orang-orang yang telah menganiaya Juraij dan merobohkan musholahnya.
“Jauraij kami minta maaf atas perbuatan kami. Karena musholahmu telah kami hancurkan, maka kami sanggup membangun untukmu mushola yang terbuat dari emas…Kami sangat menyesali perbuatan kami yang mudah terhasut dan terprovokasi oleh orang yang menginginkan kerusakan di muka bumi ini”
“Ya…aku mengerti…Namun kalian tidak perlu membangun mushola dari emas untukku…Kembalikan saja musholaku seperti semula”
Dalam waktu singkat berdirilah mushola yang cukup megah dan indah. Juraij kembali tekun beribadah dan semakin berbakti kepada ibunya. Selain itu juga banyak masyarakat yang ikut ngaji padanya.
********
SUMBER HR “MUSLIM”

KISAH ALQOMAH

Tersebutlah seorang ahli ibadah pada masa Muhammad Rosululloh SAW. Hari-hari digunakan untuk berdzikir dan mengerjakan sholat tahajjud. Ia pun senang bersedekah dan mengerjakan kebaikan-kebaikan. Orang-orang memanggil Alqomah. Ia tinggal di sebuah rumah bersama istri yang dicintainya. Sementara ibu Alqomah yang sudah tua tinggal sendiri di desa.
SUATU ketika Alqomah jatuh sakit. Makin lama sakitnya makin para. Hingga ia pun tidak bisa berbuat apa-apa melainkan hanya berbaring di atas tempat tidur. Istrinya yang merasa bahwa Alqomah sedang mengalami naza’ atau sakaratulmaut mengutus seseorang untuk melaporkan keadaan ini kepada Rasululloh SAW. Setelah mendengar cerita itu, Rasullullah mengutus tiga orang sahabat yaitu Bilal, Amar dan Suhaib untuk menengok Alqomah. Beliau berpesan agar mereka mengajarkan kalimat talqin pada Alqomah.
Sesampainya di rumah Alqomah, ketiganya langsung menemui Alqomah yang sedang mengalami sakaratulmaut. Mereka lalu menuntunnya agar melafatkan kalimat Laa ilaaha illallah. Tetapi apa yang terjadi ? Mulut Alqomah tidak terbuka sedikitpun. Berkali-kali ketiga pemudah itu mengajarkan, berkali-kali pula mulut Alqomah seperti terkunci. Ketiganya heran. Padahal Alqomah adalah orang yang ahli ibadah, tapi kenapa tidak bisa membaca kalimat sesederhana itu. Dengan menyimpan rasa tidak percaya ketiganya pulang menghadap Rasullulah. Mereka langsung menceritakan kejadian itu. Rasullulah bertanya.
‘’Apakah orang tua Alqomah masih hidup?’’
‘’Wahai Rasullullah…Alqomah mempunyai seorang ibu yang tua’’ ‘’Kalau begitu pergilah kalian menemui Ibunda Alqomah. Jika ia masih kuat untuk berjalan, mintalah ia agar datang kemari. Tapi jika tidak, biar aku saja yang kesana’’
Maka pergilah Bilal, Amar dan Suhaib ke rumah Ibunda Alqomah. Sesampainya disana mereka langsung mengutarakan maksud kedatangan mereka. Tanpa berpikir panjang Ibunda Alqomah bergegas memenuhi panggilan Rosululloh walaupun berjalan tertatih-tatih menggunakan tongkat.
Sesampainya di rumah Rosululoh, Ibunda Alqomah diberitahu mengenai keadaan anaknya. Namun ia nampak biasa saja mendengar berita itu seolah tidak mau tahu tentang apa yang sedang dialami oleh Alqomah. Hal ini membuat Rosululloh ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi antara ibu dan anak tersebut.
“Wahai Ibunda Alqomah….Aku ingin bertanya kepadamu dan jawablah pertanyaanku dengan jujur. Bagaimana penyaksian Ibu terhadap putra Ibu yang bernama Alqomah….?”
Ibunda Alqomah diam sejenak, lalu berkata….
“Alqomah adalah seorang anak laki-laki yang ahli sholat, ahli puasa dan ahli shodaqoh…Akan tetapi….”
Ibu Alqomah tidak meneruskan kalimatnya. Matanya berkaca-kaca seolah memendam suatu beban perasaan yang sangat berat.
“Akan tetapi apa…Ibu…?” tanya Rosululloh.
“Aku sangat marah kepadanya…”
Ibu Alqomah tidak dapat membendung air matanya. Ia menangis terisak-isak dihadapan Rosululloh.
“Apa masalahnya….Ibu….?”
“Semenjak Alqomah menikah dengan perempuan yang dicintainya… ia mulai melupakan aku…. meremehkan aku…. ia lebih mementingkan kepentingan istrinya daripada aku. Ia lebih mendengar kata-kata istrinya daripada nasehatku. Padahal akukan ibunya… aku sangat sakit hati, karena Alqomah tidak pernah sedikitpun menyadari kesalahannya lalu minta maaf kepadaku… yaaahh…. sampai sekarang aku tidak ridho kepadanya…”
Rosululloh telah menemukan jawaban atas keadaan yang dialami Alqomah. Kemarahan ibunyalah yang menyebabkan Alqomah mengalami beratnya sakaratulmaut, karena lisannya tidak mampu melafadzkan kalimat “Laa ilaaha illalloh…”
“Wahai Bilal…” panggil Rosululloh.
“Cari dan kumpulkan kayu bakar yang banyak”
Ibunda Alqomah merasakan sesuatu yang janggal dari ucapan Rosululloh.
“Untuk apakah kayu bakar itu, wahai Rosululloh…apa yang akan kau perbuat terhadap Alqomah?”
“Membakarnya” jawab Rosululloh singkat.
“Apa?! Wahai Rosululloh…betapapun marahnya aku kepada Alqomah, mana mungkin aku sampai hati kalau ia dibakar api…mohon jangan lakukan itu…”
“Tahukah Ibu…Adzab Alloh lebih mengerikan dan lebih kekal. Kalau memang Ibu ingin Alloh mengampuni dosa Alqomah, maka Ibu harus mau memaafkan semua kesalahan Alqomah terhadap Ibu lalu Ibu meridhoinya…Sebab semua ibadah yang telah dikerjakan Alqomah, seperti, sholat, berpuasa dan bersedekah, semua itu tidak ada artinya bagi Alqomah selama Ibu masih memendam amarah terhadapnya..”
Walau bagaimanapun, orang tua tetaplah orang tua yang tidak mungkin tega melihat anaknya menderita. Ibunda Alqomah pun tidak rela kalau anaknya mendapat adzab dari Alloh.
“Baiklah wahai Rosululloh, aku bersaksi kepada Alloh dan para malaikatNya. Aku juga bersaksi dihadapan orang-orang iman yang hadir disini nahwa sekarang juga aku memaafkan semua kesalahan yang pernah dilakukan oleh Alqomah terhadapku…dan aku meridhoinya…”
“Bilal…!”
“Ya, Rasululloh…”
“Pergilah ke rumah Alqomah. Lihatlah, apakah ia sudah bisa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh….aku kuwatir jangan-jangan pernyataan Ibunda Alqomah tadi tidak berasal dari dalam hatinya melainkan hanyalah sungkan kepadaku”
Berangkatlah Bilal menuju rumah Alqomah. Begitu sampai didepan rumah ia menjumpai telah banyak orang-orang berdatangan. Tiba-tiba Bilal mendengar suara Alqomah dengan Faseh dan jelas melafadzkan kalimat Laa ilaaha illalloh…
Sampai didalam rumah Bilal menjumpai Alqomah telah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Lalu Bilal berkata….
“Wahai orang-orang yang hadir disini. Ketahuilah bahwa amarah ibunya telah menghalang-halangi Alqomah untuk membaca kalimat talkin. Dan sekarang berkat ridho ibunya ia bisa mengucapkan kalimat itu…”
Tak lama kemudian Rosululloh beserta orang-orang iman datang berta’ziyah. Mereka lalu memandikan, mengkafani dan mensholati jenazah Alqomah. Kemudian diantar beriringan oleh Rosululloh dan orang-orang iman menuju tempat pemakaman.
Pemakaman Alqomah pun selesai dilaksanakan. Sementara para pengantar masih berada ditempat pemakaman, Rosululloh bersabda….
“Wahai orang-orang iman, muhajir dan anshor……Siapa saja yang mengutamakan kepentingan istrinya hingga melalaikan ibunya, maka ia akan mendapatkan laknat Alloh, laknat para Malaikat dan laknat semua para manusia. Alloh tidak menerima amal ibadahnya, baik yang wajib maupun yang sunnah, kecuali jika ia bertaubat dan berbuat baik serta mencari ridho ibunya. Sebab ridho Alloh beserta ridhonya ibu dan murka Alloh beserta murkanya ibu”.
********
DIDALAM KITAF “AZZAWAJIR”

Minggu, 02 September 2012

PERUMPAMAAN AMAL

DI sebuah desa terpencil, di tepi hutan di lembah yang hijau hiduplah sekelompok masyarakat yang mempunyai mata pencaharian bertani dan berdagang. Ketika itu hari pasar sedang berlangsung di desa tersebut dan ramai dikunjungi baik dari penduduk setempat maupun dari desa lainnya. Diantara keramaian pasar ada tiga pemuda yang sedang menjajakan dagangannya yaitu kayu bakar yang mereka bawa dari hutan. Mereka adalah Umar, Abu, Abbas.
KEGIATAN sehari-hari mereka adalah mencari kayu bakar di hutan lalu dijualnya ke pasar. Pekerjaan ini mereka lakukan tanpa pernah melirik pada pekerjaan lain, barangkali kodrat Ilahi sudah menentukan demikian. Ketiga pemuda sebaya itu sangat akrab satu sama lainnya, walaupun begitu ketiganya mempunyai perangai berbeda.
Umar berperangai sabar, tekun dalam beribadah dan suka bekerja keras. Setelah Sholat Shubuh di saat matahari belum terbit, ia sudah pergi menjemput kedua temannya yang masih terlelap untuk mengajak pergi mencari kayu bakar. Abu, kadang mengerjakan sholat Shubuh kadang tidak. Abbas, adalah tipe pemalas yang susah bangun pagi. Kadang ia ditinggal saja oleh kedua temannya, karena ia selalu beralasan,”Aku masih ngantuk nih. Duluan saja, nanti aku akan menyusul.”
Umar memperlihatkan rasa kasih sayang kepada semua orang. Ia sangat menyayangi saudara dan kedua orangtuanya. Ia juga menyayangi orang-orang di sekililingnya. Ia akan segera membantu mereka yang perlu bantuannya. Temannya, Abu, sikapnya biasa-biasa saja. Ia tidak terlalu antusias dengan lingkungannya. Jika ia di ajak Umar untuk membantu masyarakat yang meminta bantuan, barulah ia pergi membantu. Tapi Abbas, adalah pemuda yang cuek. Ia merasa tidak harus banyak membantu orang lain, karena menurutnya ia adalah orang miskin yang perlu bantuan orang lain juga. Terhadap keluarganya pun ia tidak punya perhatian. Ia lebih mengutamakan kepentingan dirinya sendiri.
Begitulah, ketiga sahabat itu memang beda, walaupun begitu tetap saja mereka selalu bersama. Sampai suatu ketika mereka sepakat untuk pergi ke hutan di sebelah barat dengan harapan bisa mendapatkan kayu-kayu bakar yang lebih baik kualitasnya dan lebih banyak dari yang biasa mereka dapatkan.
Seperti biasa setelah Sholat Shubuh, hari masih gelap, Umar menjemput kedua temannya. Kemudian ketiganya berangkat menuju hutan sebelah barat. Perjalanan kali ini cukup jauh, harus melewati sungai, lembah, dan bukit-bukit terjal di pegunungan. Menjelang siang hari sampailah mereka di suatu tempat yang banyak kayu bakarnya. Kemudian mereka mulai mengumpulkan kayu bakar dan mengikatnya.
Ketika mereka sedang asyik mengumpulkan kayu-kayu bakar tiba-tiba hujan turun sangat deras disertai dengan petir yang bersahutan. Ketiganya sangat bingung dan ketakutan, mereka lalu berlari mencari tempat berteduh.
Umar melihat sebuah gua, kemudian ia berteriak kepada kedua temannya untuk berteduh di sana. Mereka pun masuk ke dalam gua yang gelap gulita itu. Di dalam gua, mereka tidak melihat apa-apa di sekelilingnya. Seakan-akan mata mereka buta. Ketiganya pun berjalan perlahan. Tiba-tiba mereka menginjak benda-benda halus licin seperti kerikil. Bersamaan dengan itu mereka di kejutkan dengan sebuah suara yang menggema ke seluruh ruangan gua. “Siapa yang mengambil akan menyesal. Siapa yang tidak akan mengambil akan menyesal.”
Ketiganya mendengar suara itu berulang-ulang hingga lama-lama menghilang. Kemudian Umar, Abu dan Abbas memutar otaknya untuk mencari keuntungan dari suara gaib itu. “Apakah yang akan di ambil?” Ada apa di dalam gua ini?” begitu pikir mereka. Tetapi mereka rasakan hanyalah kerikil-kerikil kecil yang mereka injak.
Umar berkata dalam hatinya,”Kalau saya ambil, saya akan menyesal, kalau tidak saya ambil, saya juga akan menyesal. Ah, lebih baik ambil saja yang banyak.” Ia pun langsung memenuhi semua kantong baju dan celana dengan kerikil-kerikil itu.
Abu pun berpikiran sama, tapi ia hanya mengambil kerikil-kerikil itu segenggam. Sebaliknya, Abbas malah tidak mau mengambil barang sedikitpun. “Kalau sama-sama menyesal lebih baik tidak aku ambil” pikirnya.
Ketiganya pun membisu. Mereka masih ketakutan. Kemudian Umar mengajak kedua temannya untuk keluar dari gua. Mereka pun berlari keluar. Tanpa terasa mereka berlari terus, menjauh dari gua. Dengan napas terengah-engah akhirnya mereka berhenti. Tidak terasa ternyata hujan juga sudah reda. Ketiganya lalu ingin membuktikan apa sebetulnya yang telah mereka ambil dari gua. Betapa terperanjatnya mereka bertiga ketika mengetahui bahwa kerikil-kerikil itu ternyata adalah berlian!!.
Umar sudah mengantongi banyak berlian merasa menyesal,”Waduh! Kalau saja aku tahu ini berlian, aku akan mengambilnya lebih banyak lagi. Kalau perlu akan kubuka bajuku untuk mengantongi berlian-berlian itu sebanyak-banyaknya.” Abu juga sangat menyesal karena hanya mengambil segenggam. Sedangkan Abbas, tubuhnya langsung lemas ketika mengetahui kedua temannya mendapat berlian. Ia sendiri tidak mendapat apa-apa. “Ohh, kenapa tadi aku tidak mengambil barang sedikit saja” ia pun jatuh pingsan dengan sejuta penyesalan.
Setelah Abbas siuman, ketiganya bersepakat untuk mendatangi gua itu kembali. Dengan semangat, Abbas langsung mengosongkan isi tasnya, diikuti oleh Umar dan Abu. Ketiganya berharap begitu mereka sampai di gua kembali mereka akan mengambil berlian-berlian itu sebanyak-banyaknya. Tapi, setelah mereka sampai di sana ternyata mulut gua sudah tertutup dengan sebuah batu besar. Mereka berusaha untuk membukanya tapi sia-sia. Mereka pun pulang dalam keadaan menyesal karena tidak dapat memperoleh berlian yang lebih banyak lagi.
Bagitulah gambaran pengamalan manusia di dunia. Dan buah dari pengamalan itu kelak akan diperoleh di akhirat. Berlian itu menggambarkan amalan-amalan baik. Di hari pembalasan semua manusia akan menyesal demi melihat pahala yang diberikan Alloh begitu banyak. Yang beramal banyak akan menyesal kenapa ia tidak beramal lebih banyak lagi. Yang beramal sedikit menyesal kenapa hanya beramal sedikit. Apalagi yang tidak beramal, akan menjadi penyesalan yang tiada habisnya.
Gua menggambarkan dunia di mana belum bisa dibedakan antara orang yang beramal banyak, sedikit maupun tidak beramal sama sekali sebab balasannya belum kelihatan. Sedangkan gua yang tertutup menggambarkan kematian. Jika kematian sudah tiba, penyesalan datang. Namun penyesalan tinggal penyesalan, yang sudah mati tidak akan bisa kembali lagi ke dunia.
Rosululloh SAW telah bersabda :
“Tidak ada dari seseorang yang telah mati kecuali dia akan menyesal. Sahabat nabi bertanya: mengapa dia menyesal wahai Rosululloh? Nabi Menjawab: Jika dia orang yang beramal baik, dia akan menyesal mengapa tidak menambah amal kebaikannya (ketika di dunia), dan jika dia orang yang beramal jelek, dia menyesal mengapa tidak mencabut (bertaubat) atas amal jeleknya (ketika di dunia).”

SUMBER : HR TIRMIDZI DAN HR BAIHAQI

KISAH NABI YUNUS

Kemusyrikan dan kedzaliman semakin merajalela di desa Nabi Yunus. Sebagai seorang Nabi Alloh, Nabi Yunus senantiasa menasehati kaumnya, siang dan malam terus berdakwah mengajak kaumnya agar mau menyembah kepada Alloh. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang mau mendengar dan mengikuti ajakan Nabi Yunus. Sebaliknya, mereka malah mencaci maki, mengolok-olok dan mendustakan Nabi Yunus. Hingga datanglah suatu hari di mana Nabi Yunus merasakan keputusasaan, hatinya dipenuhi dengan perasaan kesal dan marah pada kaumnya.
“Meraka benar-benar keterlaluan! Masa mereka tidak tahu kalau aku ini seorang nabi yang di utus oleh Alloh untuk mengajak manusia beribadah yang benar. Aku sudah bersusah payah mengajak mereka tapi mereka menolak bahkan menghinaku. Aku tidak bisa terus bersama mereka dalam kesesatan, mereka harus ditinggalkan…..” Nabi Yunus bertekad untuk pergi meninggalkan kaumnya., pergi dengan gejolak perasaan yang tidak menentu, putus asa, terpukul dan marah pada kaumnya. Langkah demi langkah Nabi Yunus berjalan hingga sampailah beliau ke tepi laut. Tanpa berpikir panjang Nabi Yunus naik keatas perahu yang kebetulan sedang berlabuh. Tak lama kemudian perahu mulai berlayar meninggalkan daratan menuju lautan lepas.
Nabi Yunus tidak sadar bahwa belaiu sedang mengambil keputusan yang salah. Nabi Yunus telah lari dari ketentuan Alloh. Tiada makanan maupun bekal yang beliau bawa, tiada seorang pun teman yang menemani beliau. Nabi Yunus menaiki perahu dalam keadaan guncang jiwanya. Nahkoda perahu mendekati Nabi Yunus, “Tuan…Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya nahkoda perahu.
“Aku ingin pergi bersama perahu kalian….”jawab Nabi Yunus singkat.
Perahu terus berlayar membelah lautan yang tenang, angin bertiup dengan lembut dan baik. Namun tiba-tiba semuanya berubah, angin bertiup kencang, lautan bergolak cukup dasyat, ombak bergulung-gulung setinggi gunung. Sebagian awak perahu nampak sibuk menguras air yang mulai masuk ke permukaan perahu, sedangkan yang lainnya ramai-ramai menggulung layar. Angin kencang dan gelombang besar tak kunjung reda, keadaan semakin membahayakan. Nahkoda perahu segera mengambil tindakan.
“Kurangi beban perahu….! Kita harus mengadakan undian bagi semua penumpang perahu! Barangsiapa yang namanya keluar dia harus dibuang kelautan.”
Nabi Yunus mengetahui bahwa ini adalah tradisi dari tradisi-tradisi yang biasa dilakukan awak perahu jika mereka menghadapi angin keras. Sehingga terpaksa Nabi Yunus pun harus mengikuti undian itu. Nama Nabi Yunus dimasukkan bersama dengan penumpang lainnya dan dilakukanlah undian. Pada undian yang pertama betapa terkejut Nabi Yunus karena yang keluar justru namanya. Lalu diadakan undian yang kedua, dan kali ini pun yang keluar namanya.  Nabi Yunus mulai gemetar, jantungnya berdegup kencang.
“Kalau sampai undian ketiga nanti namaaku lagi yang keluar….tamatlah riwayatku”.
Akhirnya diadakan undian yang ketiga. Kali ini Nabi Yunus tidak bisa mengelak lagi, badannya terkulai lemas, yang keluar pada undian ketiga itu lagi-lagi namanya beliau. Akhirnya ditetapkan bahwa Nabi Yunus harus dibuang kelautan.
Saat itu pandangan seluruh penumpang perahu tertuju pada Nabi Yunus. Nabi Yunus baru menyadari bahwa beliau telah berbuat kesalahan ketika meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah. Kini Nabi Yunus merasa bahwa Alloh akan menurunkan hukuman padanya karena beliau dianggap salah karena meninggalkan kaumnya tanpa izin Alloh.
Nabi Yunus berdiri di tepian perahu dan melihat lautan yang dipenuhi dengan ombak yang mengerikan. Dunia nampak gelap tidak cahaya bulan. Air pun hanya kelihatan hitam sedangkan hawa dingin menembus tulang. Kemudian nahkoda perahu berteriak
“Lompatlah wahai musafir….”
Sementara tiupan angin semakin kencang, beliau mengumpulkan keberaniannya saat akan terjun ke laut. Akhirnya “Byurr!” Nabi Yunus terjun ke laut dan timbul tenggelam di permukaan laut yang bergolak. Tiba-tiba seekor ikan raksasa sejenis paus berada di depannya. Ikan itu tersenyum karena Alloh telah mengirim padanya makanan malam. Hanya dalam sekejab hilanglah jasad Nabi Yunus di telan ikan itu. Kemudian ikan itu kembali ke dasar lautan. Nabi Yunus terkejut ketika mendapati dirinya dalam perut yang gelap sekali. Tiga kegelapan menimpa Nabi Yunus, kegelapan malam, kegelapan di dasar lautan, dan kegelapan dalam perut ikan. Nabi Yunus merasakan bahwa dirinya telah mati. Beliau mencoba menggerakkan panca indera dan anggota tubuhnya ternyata masih bergerak dan lisannya pun mulai mengikutinya. Beliau mengatakan Nabi Yunus terpenjara di dalam perut ikan. Beliau mulai dapat menguasai emosinya, mulutnya mulai bergerak bertasbih kepada Alloh.
“Tiada Tuhan selain Engkau ya Alloh. Wahai Yang Maha Suci, sesungguhnya aku termasuk orang yang menganianya diri sendiri.”
Tidak ada yang dapat Nabi Yunus lakukan selain pasrah dan terus bertasbih kepada Alloh. Beliau tidak makan dan tidak minum, beliau berpuasa dan berbuka dengan tasbih.
Sudah hampir 40 hari Nabi Yunus berada dalam perut ikan. Tubuhnya semakin lemah tidak berdaya. Hingga pada saat yang telah di tentukan oleh Yang Maha Kuasa, diperintahNya  ikan itu untuk naik ke permukaan laut dan mengeluarkan Nabi Yunus dari perutnya ke sebuah daratan. Ikan itu pun mengikuti perintah Tuhan nya, Nabi Yunus dimuntahkan keluar dari perutnya, beliau tergeletak lemas dan sakit, wajahnya tersengat panasnya sinar matahari. Alloh menubuhkan sebuah pohon sejenis labu untuk melindungi badan nabi Yunus dari terik matahari. Penduduk kampung segera menolong dan merawat Nabi Yunus hingga sehat kembali.
Alloh telah memberikan pelajaran berharga pada Nabi Yunus. Kini Nabi Yunus kembali melaksanakan tugasnya memberantas kemusyrikan di muka bumi dengan tegar dan semangat. Banyak orang-orang yang insaf menjadi pengikut Nabi Yunus, Alloh telah mengampuni semua kesalahannya.
********

Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.
Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam?Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.
Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.
Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.
Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.
Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.
Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.

Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.

Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.
Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz/eramuslim)

Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab. Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.
Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.
Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.
Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.
Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).
Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.
Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.
Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.
Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..
Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.
Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,” ujar Mansyur yakin.
Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).
Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.

Gujarat Sekadar Tempat Singgah
Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.(Rz, Tamat/eramuslim)

NABI SULAIMAN DAN RATU BILQIS

Suatu hari disebuah kerajaan besar dimuka bumi, berkumpul para punggawa, mulai dari prajurit sampai menteri-menteri kerajaan memenuhi panggilan sang Raja. Anehnya, tidak hanya bangsa manusia yang datang memenuhi panggilan itu, tetapi juga banyak jin-jin serta burung-burung berbondong-bondong berkumpul memenuhi balairung istana. Sang Raja yang gagah perkasa duduk di singgasana sambil memandang mereka satu-persatu.
“MENGAPA aku tidak melihat Hud-hud? Tahukah kalian dimana dia?” tanya sang Raja memecah keheningan suasana.
Parapunggawa diam membisu sambil saling pandang satu sama lain. Mereka memang tidak tahu menahu soal kepergian seekor burung yang dimaksud oleh sang Raja. Maka sang Rajapun mengeluarkan sabdanya,”Dengar wahai punggawa! Oleh karena Hud-hud tidak hadir tanpa seizinku, maka sungguh aku akan menghukumnya dengan hukuman yang berat, atau aku akan memenggal kepalanya. Kecuali jika ia dapat memberikan alasan yang tepat tentang kepergiaannya!”
Sulaiman bin Daud, itulah nama sang raja yang juga seorang Nabi Allah. Allah telah memberinya anugerah yang luar biasa yaitu bisa berbicara dengan burung-burung dan menguasai jin-jin. Selain itu Allah juga memerintahkan angin supaya tunduk dan patuh terhadap Nabi Sulaiman. Kemanapun Nabi Sulaiman hendak pergi, angin akan membawanya dengan sangat cepat menuju tempat yang diinginkan. Demikian mukjizat dari Allah yang menyertai Nabi Sulaiman dalam memimpin umat, memberantas kebathilan dan menegakkan kebenaran dimuka bumi.
Nabi Sulaiman sangat dekat dengan punggawa maupun rakyatnya. Pada waktu-waktu tertentu di kumpulkannya para punggawa untuk diminta saran, pendapat maupun keluhan-keluhan mereka. Perhatian Nabi Sulaiman yang begitu besar tersebut menjadikan hapal satu persatu seluruh nama pengikutnya. Sehingga kalau ada salah satu dari mereka tidak datang memenuhi panggilannya, pasti Nabi Sulaiman akan mencarinya. Seperti yang terjadi pada burung Hud-hud.
Selang beberapa saat setelah Nabi Sulaiman menjatuhkan sabdanya pada Hud-hud, tiba-tiba Hud-hud datang  dan bersimpuh dihadapan Nabi Sulaiman. ”Ampun paduka, sebelum paduka menghukum hamba, perkenankan hamba untuk menyampaikan berita yang belum pernah paduka dengar sebelumnya,”
Katakan, berita apa yang kau bawa?”
“Hamba baru saja datang dari negeri Saba’. Sebuah negeri yang kaya raya, dipimpin seorang Ratu berparas Cantik rupawan. Dia memiliki singgasana yang besar dan indah, panjangnya 80 hasta, lebarnya 40 hasta dan tingginya 30 Hasta. Para pengikutnya memanggilnya Ratu Bilqis. Akan tetapi paduka, Ratu Bilqis dan pengikutnya telah terpedaya oleh syetan, mereka menjadikan matahari sebagai tuhan mereka yang mereka puja-puja setiap hari.”
“Mmm, benarkah?”
“Hamba tidak berdusta, paduka”
“Baiklah. Aku ingin membuktikan kebenaran perkataanmu. Berangkatlah kembali ke negeri saba’ dengan membawa surat dariku. Berikan surat itu pada Ratu Bilqis dan pengikutnya. Lalu dengarkan apa yang mereka bicarakan setelah mereka membaca surat itu.”
Sesaat kemudian Hud-hud sudah terbang tinggi melewati pegunungan dan hamparan padang pasir membawa sepucuk surat dari Nabi Sulaiman untuk Ratu Bilqis. Hingga sampailah pada disebuah istana  kediaman Ratu bilqis yang sangat megah dan indah. Hud-hud terbang menerobos masuk kedalam istana, lalu menjatuhkan gulungan surat yang dibawanya di hadapan sang Ratu. Dengan serta merta Ratu memungut dan membaca surat itu di hadapan para pembesar kerajaan Saba”.
“Dari Sulaiman. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, janganlah kamu berlaku sombong terhadapku, dan datanglah padaku sebagai orang-orang yang berserah diri.”
Ratu Bilqis tertegun setelah membaca surat dari Nabi Sulaiman yang seolah olah akan merebut negeri Saba’ dari kekuasaan Ratu Bilqis. Maka berkatalah sang Ratu, “Wahai para pembesarku, berilah aku pertimbangan dalam menghadapi masalah ini. Sebab aku tidak pernah memutuskan suatu permasalahan sebelum meminta pendapat dan saran dari kalian.”
“Paduka Ratu, kita memiliki bala tentara yang besar dan kuat. Pasukan-pasukan kita sangat terlatih dan pemberani. Kita siap menghadapi tantangan itu. Namun demikian semua itu kembali pada keputusan paduka. Oleh karena itu mohon kiranya paduka mempertimbangkan segala sesuatunya dengan cermat sebelum paduka mengeluarkan perintah.”
“Wahai para pembesarku, walaupun kita semua telah siap berperang demi membela keagungan dan kejayaan negeri kita, tetapi ketahuilah bahwa peperangan hanya akan meninggalkan kepedihan dan kesengsaraan bagi rakyat kita. Karena sesungguhnya raja-raja apabila menyerang suatu negeri, niscaya mereka akan membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina. Aku benci perang!”
“Lalu apa yang akan paduka lakukan ?”
“Kita akan mengirim utusan pada Raja Sulaiman dengan membawa hadiah sebagai tanda perdamaian. Kita tunggu saja hasilnya.”
Para utusan Ratu Bilqis yang membawa hadiah telah sampai di kerajaan Nabi Sulaiman. Tetapi, apa yang terjadi? Nabi Sulaiman marah.
“Apakah Ratu kalian ingin menyuapku, bukan harta benda maupun kekuasaan yang aku inginkan. Sebab segala sesuatu yang telah diberikan oleh Allah kepadaku, jauh lebih baik dibandingkan apa yang diberikan-Nya pada Ratu kalian. Sampaikan pada Ratu Bilqis, janganlah dia merasa bangga karena memberiku hadiah seperti itu. Aku hanya ingin dia beserta pengikutnya tunduk mengikuti ajakanku untuk menyembah pada Allah. Dan katakan pada pimpinan kalian, kalau dia tidak mau menghadapku, aku akan datang ke negerinya. Tetapi kedatanganku akan mengusirnya dari negeri itu dan mereka menjadi tawananku yang hina!”
Para utusan Ratu Bilqis pulang dengan perasaan kecut demi mendengar ancaman Nabi Sulaiman. Sementara itu Nabi Sulaiman segera mengatur siasat untuk memperdaya Ratu Bilqis. Nabi Sulaiman mengumpulkan para pembesarnya.
“Wahai Para pembesarku! Siapakah diantara kalian yang sanggup membawa singgasana Bilqis sebelum dia datang untuk menyerahkan padaku ?”salah satu pembesar Nabi Sulaiman dari golongan jin, bernama ifrit mengacungkan tangannya.
“Hamba sanggup mendatangkan singgasana Bilqis kehadapaan paduka sebelum paduka beranjak dari singgasana paduka. Karena hamba memiliki kekuatan yang besar untuk mengangkatnya. Percayalah pada hamba,”
Seluruh mata yang hadir dalam pertemuan itu tertuju pada ifrit. Mereka kagum dengan kesanggupan ifrit yang luar biasa. Ashof bin Barkhiya seorang juru tulis Nabi Sulaiman yang ahli ibadah mengacungkan tangannya dan berkata dengan kalem,
“Wahai Nabi Allah. Hamba Insya Allah akan membawa singgasana Bilqis kehadapan paduka dalam sekejap mata”
“Benarkah?”
Ashrof menengadahkan kedua tangannya keatas memohon pertolongan Allah seraya berkata, “Wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan! Tuhan kami dan Tuhannya segala sesuatu.Tidak ada tuhan kecuali Engkau. datangkanlah pada kami singgasana Bilqis!”
Keajaiban terjadi. Bagian sudut balairung istana yang tadinya kosong kini telah terpenuhi singgasana Bilqis yang megah bertatahkan emas dan berlian. Semua terkesima melihat kejadian itu. Namun Nabi Sulaiman segera menyadarkan mereka,
“Ini semua adalah karunia dari Allah dan sebagai cobaan bagi kita apakah kita tergolong orang yang bersyukur atau justru malah sebaliknya. Wahai para pembesarku! Kini singgasana Bilqis sudah berada dalam kekuasaan kita. Ini  adalah merupakan satu kemenangan bagi kita. Tetapi tidak berhenti sampai disini. Sebelum Bilqis tiba dinegeri kita, rubahlah bentuk singgasananya. Aku ingin tahu, apakah dia masih mengenali singgasananya atau tidak”,
Nabi Sulaiman bermaksud menyadarkan Ratu Bilqis bahwa apakah memiliki arti kecantikan, kemewahan dan kekuasaan, sedangkan hati dan pikirannya terbelenggu oleh tipu daya syetan, sehingga matahari dianggapnya sebagai tuhan. Betapa sempurna kenikmatan hidup didunia, jika kemewahan dan kekuasaan yang telah  dimiliki disertai dengan hati yang iman dan diliputi dengan rahmat serta pengampunan dari Allah. Nabi Sulaiman berniat menjadikan Ratu Bilqis sebagai permaisuri yang akan mendampinginya dalam memperjuangkan dan menegakkan panji-panji tauhid di muka bumi.
Tetapi kemudian tersiar ‘gosip’ dikalangan para jin pengikut Nabi Sulaiman bahwa tumit betis dan Ratu Bilqis dikabarkan mirip bertis khimar. Nabi Sulaiman segera mengambil inisiatif. Diperintahkannya para jin untuk melapisi kaca pada lantai ruangan yang akan dipergunakan menjamu Ratu Bilqis. Pekerjaan itu dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Sebuah ruangan yang ditata sedemikian indah, dengan lantai terbuat dari kaca bagai sebuah kolam dengan airnya yang bening.
Tibalah pada saat yang di tunggu-tunggu. Ratu Bilqis dikawal oleh para pembesar negeri Saba’ datang memasuki istana Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman mempersilahkan Ratu memasuki balai rung istana dan menunjukan sesuatu yang berdiri megah ditengahnya. “Wahai Bilqis, apa betul ini singgasanamu?”
“Sepertinya ini memang singgasanaku. Tapi bagaimana bisa sampai disini?”
“Wahai Bilqis. Ketahuilah, tuhan yang patut disembah adalah Allah. Tuhan yang maha Esa. Dialah yang menciptakan segala sesuatu. Dialah yang menghidupkan dan mematikan. Dialah yang mengutusku sebagai Nabi pemimpin umat dimuka bumi ini. Dan atas kekuasaan Nya singgasanamu sampai disini. Tinggalkan menyembah matahari. Mulailah menyembah pada Allah Tuhan seluruh alam.”
Kemudian Nabi Sulaiman mempersilahkan sang Ratu memasuki sebuah ruangan yang telah disiapkan untuk menjamu. Pertama kali yang dilihat Ratu Bilqis dalam ruangan itu adalah kolam yang luas dengan airnya yang bening. Karena takut gaunnya basah terkena air, disingkapnya gaun indah yang membalut tubuhnya sampai betisnya. Sehingga semua yang hadir dapat melihat betapa indah betis sang Ratu, tidak seperti yang digosipkan oleh mereka selama ini.
Berkatalah Nabi Sulaiman,”Wahai Bilqis, kau tidak perlu menyingkapkan gaunmu. Sebab itu bukan kolam, melainkan lantai yang terbuat dari kaca.”
Sekali lagi Bilqis telah terpedaya oleh Nabi Sulaiman. Dia merasa telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri, karena selama ini telah memuja-muja pada tuhan selain Allah.
“Ya Tuhanku. Sesungguhnya aku telah berbuat dzalim terhadap diriku. Dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam”
Sang Ratu telah sadar dan insaf kini raja Sulaiman bin Daud yang gagah perkasa didamping oleh seorang permaisuri, Bilqis binti Syarohil, terus berjuang mengemban amanat dari Allah untuk memberantas segala bentuk kemusyrikan dan menyebarluaskan kebenaran hingga agama Allah berdiri tegak dimuka bumi*

KISAH KETABAHAN NABI AYYUB

Nabi Ayyub adalah seorang bangsa Rum, beliau putra ‘Aish bin Ishak, seorang Nabi, ibunya salah seorang putri Nabi Luth. Beliau termasuk salah seorang laki-laki yang memiliki otak cerdas dan jenius. Beliau rajin, berbudi luhur lagi bijaksana. Ayahnya adalah seorang yang memiliki kekayaan, memiliki sejumlah besar hewan ternak, onta, lembu, domba, kuda, keledai dan khimar. Tiada seorang pun yang membandingi kekayaannya di negri Syam di masa itu. Setelah wafat, harta benda di wariskan semua kepada Nabi Ayyub. Beliau menikah dengan Dewi Rahmah putri Afrayim anak laki-lakinya Nabi Yusuf. Dari pernikahan mereka Alloh menganugrahi 12 kali mengandung, setiap lahir 2 orang anak, masing-masing putra dan putri.
Nabi Ayyub di utus oleh Alloh kepada kaumnya, yakni kaum Huran dan Tih, beliau berbudi baik dan halus, sepanjang hidupnya tiada seorang pun yang menyalahi dengan dusta dan ingkar, berkat kehormatan yang diberikan oleh Alloh kepadanya dan ibu bapaknya. Beliau suka mendirikan masjid-masjid dan menyampaikan syari’at-syari’at agama Alloh. Beliau suka menyantuni anak-anak yatim bagaikan seorang bapak yang penuh kasih sayang, terhadap para janda bagaikan seorang suami, demikian pula terhadap rakyat kecil yang lemah bagaikan saudara kandung penuh cinta kasih. Para pembantu yang mengurus tanaman dan buah-buahan di kebun dan sawahnya, dipesankan kepada mereka supaya membiarkan bagi siapa saja yang yang ingin memetiknya.
Dalam hal peternakan, setiap tahun terus meningkat, bahkan setiap hewan mempunayi anak kembar-kembar, sekalipun demikian semua harta kekayaan tidak mempengaruhinya sedikitpun, beliau pandai mensyukuri nikmat pemberian Alloh, baik dalam hati maupun dicetuskan lewat lesannya, bahkan beliau selalu memanjatkan do’a kepada Alloh, “Ya Alloh, ini semua adalah pemberian-Mu kepada semua hambamu di lokasi penjara dunia, sangat jauh dibandingkan dengan pemberian-Mu di sorga bagi ahli karomah-Mu di negri penuh hidangan-Mu”.
Itulah pangkal penyebab timbulnya iri, drengki makhluk Alloh tiada berbudi sebangsa Iblis. Iblis tidak terima dengan keberhasilan Nabi Ayyub, suatu hari ia berkata, “Ayyub benar-benar sukses usahanya, baik urusan dunia maupun akhirot. Untuk itu, ia harus dirusak salah satu atau kedua-duanya”.
Pada masa itu, Iblis dapat naik ke langit tingkat tujuh, ia bebas parkir di tempat mana saja sesukanya. Pada suatu hari ia naik seperti biasanya, dan ditanya oleh Alloh,
“Hai makhluk terkutuk, tidakkah melihat hambaKu yang telah sukses dalam usahanya? Mampukah kamu mencontoh barang sedikit saja?”.
“Ya Tuhan, benar saja Ayyub tekun beribadah kepadaMu, sebab ia diberi kelapangan rizki dan kesehatan jasmani, seandainya tidak demikian, pasti ia pun enggan beribadah kepada-Mu, ia seorang hamba yang penuh dengan kecukupan”. Jawab Iblis.
“Bohong kamu, sebab Aku tahu pasti bahwa ia benar-benar beribadah dan bersyukur kepadaKu, sekalipun tiada kelapangan rizki baginya”.
“Ya Tuhan…. kalau begitu, aku ingin mengujinya, sampai sejauh mana ia tidak lupa berdzikir dan beribadah kepadaMu, untuk itu berilah aku kemampuan untuk menguasai dirinya!”. sahut Iblis.
Setelah terjadi perdebatan yang panjang, akhirnya Alloh memenuhi tuntutan Iblis terkutuk, dengan catatan tidak pada jiwa dan lesan Nabi Ayyub.
Sekembalinya dari langit, Iblis menelusuri pantai laut, ia berteriak sekerasnya memanggil bangsa jin. Dengan waktu yang tidak lama semua bangsa jin pun segera berhimpun, tiada seorang pun yang tersisa, baik pria maupun wanita, semuanya mendekat di sisi Iblis, kemudian bertanya,
“Apa yang menimpa tuan besar?”.
“Kini aku memperoleh proyek besar, yang belum pernah diperoleh sejak aku sukses menggulingkan Adam dari surga, yaitu memperdaya Ayyub, untuk itu marilah kita kerjakan bersama-sama”.
Tanpa banyak pertanyaan, semua bangsa jin dengan caranya masing-masing mulai bergerak memperdaya Nabi Ayyub. Mereka mengerahkan seluruh pasukan yang ada, dan mengatur strategi. Rumah-rumah, taman-taman, kebun-kebun dan sawah-sawah semua mereka hancurkan, sehingga semua harta kekayaan Nabi Ayyub habis dimusnahkan Iblis dan bala tentaranya.
Setelah berhasil menghancurkan semua harta kekayaan Nabi Ayyub, Iblis menghampiri Nabi Ayyub yang sedang sholat di masjid dan berkata,
“Hai Ayyub, kenapa engkau tenang-tenang beribadah kepada Alloh, padahal engkau dalam keadaan terancam bahaya. Tuhanmu telah mengirim api dari langit yang membumi hanguskan seluruh harta kekayaanmu”.
Nabi Ayyub tidak menjawab sepatah kata pun pada omongan Iblis, bahkan beliau memanjatkan doa kepada Alloh setelah sholat selesai, “Segala Puji bagi Alloh yang telah memberi harta kekayaan kepadaku, kemudian sekarang sudah saatnya Dia menarik kembali dari tanganku”. Setelah berdoa kemudian beliau meneruskan lagi sholatnya.
Melihat keadaan seperti itu, Iblis merasa usahanya tidak berhasil dan ia pulang dengan penuh kecewa, bahkan merasa terhina dan menyesal akibat tindakan Nabi Ayyub.
Adalah Nabi Ayyub punya 14 orang anak, tujuh diantaranya putra, dan tujuh putri. Setiap hari makan siang di rumah saudaranya, saat itu berkumpul di rumah saudara mereka tertua  (yakni Harmula), dan pasukan syetan pun menyekap mereka dan melempari, hingga meninggal dunia semua dalam satu meja makan, diantara mereka ada yang tengah menyuap makanan dan ada pula yang memegang gelas minuman. Lagi-lagi Iblis menghampiri Nabi Ayyub, yang tengah shalat. Sahut Iblis,
“Hai Ayyub, kenapa engkau tetap tekun beribadah pada Allah, padahal Allah telah merobohkan rumahmu dan menimpa anak-anakmu, hingga binasa seluruhnya?”.
Namun Ayyub tidak menjawab sedikitpun, bahkan ia menyempurnakan shalatnya. Setelah selesai sholat beliau berdoa,
“Segala puji bagi Allah Yang telah memberiku, dan menarik kembali dariku”. Setelah berdoa Nabi Ayyub menambahkan, “Hai Iblis makhluk terkutuk, ketahuilah bahwa seluruh harta dan anak-anak adalah fitnah, ujian bagi pria maupun wanita, dan semua telah ditarik kembali oleh Allah  dari tanganku, hingga aku mampu bersabar dan tetap tekun beribadah kepada Tuhanku”. Kembali Iblis pulang dengan penuh kecewa, merugi serta terkutuk.
Namun Iblis tidak berputus asa, ia  terus mengejar Nabi Ayyub, lagi-lagi ia datang sewaktu Nabi Ayyub tengah melakukan shalat, bertepatan Ayyub melakukan sujud, Iblis meniup hidung dan mulut, maka mengembunglah tubuh Ayyub dan banyak berpeluh, hingga badan terasa berat. Melihat keadaan itu Rahmah istrinya mencoba menghibur dan mengingatkan Nabi Ayyub,
“Derita sakitmu ini adalah akibat kesedihanmu memikirkan hartamu yang musnah dan bencana yang menimpa anak-anakmu, sedang kamu beribadah terus menerus di malam hari, siangnya berpuasa, tak kenal istirahat barang sesaat pun, lagi pula tak suka berhibur”.
Selang beberapa hari kemudian Nabi Ayyub diserang penyakit cacar seluruh tubuhnya, mulai kepala sampai kaki, darah dan nanah mengalir dari tubuhnya, dan ulat-ulat pun berjatuhan, akibatnya seluruh famili dan kawan-kawan menyatakan cerai dan menghindarinya. Demikian pula dua dari ketiga orang istrinya menuntut cerai secara resmi, kecuali dewi Rahmah seorang istrinya yang setia melayani siang dan malam hari.
Tidak terbatas sampai di sini penderitaan Nabi Ayyub, kaum hawa tetangganya menuntut Nabi Ayyub supaya angkat kaki dari kampungnya, lewat istrinya, mereka berkata,
“Hai Rahmah, kami sangat khawatir kalau nanti penyakit suamimu menular pada anak-anak kami, seharusnya ia disingkirkan saja dari kampung kami, kalau tidak, kami akan memaksamu keluar”.
Mendengar perkataan tetangganya, Dewi Rahmah pun segera keluar,  pakaiannya dibungkus, lalu dibawa pergi sambil berteriak keras,      “Aduh, demikian berat penderitaan ini, kami harus mengembara dan berpisah, mereka telah mengusir dari kampung dan rumah kami”.
Nabi Ayyub di gendong pada punggungnya, diiringi isakan tangis istrinya, ia dibawa  kesebuah lokasi bekas  rumah yang sudah rusak, tempat pembuangan sampah dan disanalah ia ditaruh. Baru beberapa hari bertempat di situ, masyarakat sekitar melihat demikian itu kontan mengusirnya juga, dan mereka tidak segan-segan mengerahkan anjing-anjingnya untuk memaksa  Nabi Ayyub dan istrinya keluar dari lokasi tersebut. Dengan terpaksa dan diiringi isakan tangis Dewi Rahmah pun membawa pergi Nabi Ayyub menuju suatu tempat yang jauh dari kampung. Sesampainya disana Dewi Rahmah membuat sebuah gubug dari kayu dan disitulah Nabi Ayyub di rawat. Keesokan harinya Dewi Rahmah pergi dan datang dengan membawa alas tidur sebangsa tikar serta batu sebagai bantalnya. Untuk mengambil air minum, Dewi Rahmah membawakan wadah air yang biasa dipakai oleh para penggembala memberi minum ternak-ternaknya.
Suatu hari Dewi Rahmah berniat ingin menuju suatu dusun terdekat untuk mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang dan untuk dibelikan sesuap nasi, tapi Nabi Ayyub memanggilnya, “Hai Rahmah, kembalilah.. aku menasehatimu, jika kamu hendak pergi menjauh dariku  aku akan kamu biarkan sendirian di tempat ini”.
“Janganlah tuanku khawatir, sebab tidak mungkin aku membiarkanmu seorang diri, selama hayat dikandung badanku”. Jawab Rahmah dengan lembut.
Akhirnya Dewi Rahmah berangkat menuju suatu dusun, dan diterima sebagai karyawan pada suatu perushaan roti. Ia bekerja setiap hari pada perusahaan roti berangkat pagi pulang sore untuk memberi makan Nabi Ayyub. Lama kelamaan masyarakat dusun itu mengerti bahwa ia adalah istri Nabi Ayyub, mereka pun berhenti tidak suka memberi makan padanya sambil mengatakan,
“Menjauhlah dari kami…sebab kini kami merasa jijik padamu”.
Sambil menangis, Dewi Rahmah memohon kepada Alloh,
“Ya Alloh…Engkau melihat keadaanku ini, seolah-olah dunia ini berubah menjadi sempit bagi kami, semua orang selalu menghina dan mengejek kami, namun kami berharap janganlah Engkau menghina kami kelak di akherat. Ya Alloh…mereka telah mengusir dari rumah kami di dunia, namun kami berharap janganlah Engkau mengusir kami dari rumahMu kelak di akhirat”.
Kemudian ia pun berangkat untuk menemui wanita istri perusahaan roti itu, sesampainya disana, ia mengutarakan keinginannya pada wanita itu,
“Sungguh, suamiku saat ini tengah lapar, untuk itu perkenankanlah aku meminjam roti kepadamu”.
“Menjauhlah dariku secepatnya supaya suamiku tidak melihatmu, untuk bisa mendapatkan roti, kamu supaya menyerahkan gelungan rambutmu kepadaku”. Jawab wanita itu.
Dewi Rahmah memiliki 12 buah gelungan melembreh ke tanah, indah dan bagus serupa dengan yang ditemukan oleh Nabi Yusuf pada Siti Zulaikhoh.
Wanita istri perusahaan roti pun datang dengan gunting untuk memotong gelungan rambut Dewi Rahmah, kemudian di tukarkan dengan empat potong roti.
Dewi Rahmah merasa bersalah dengan tindakannya itu, dalam hatinya mengatakan…  “Ya Alloh, tindakanku ini semata-mata berbakti kepada suamiku untuk memberi makan nabiMu dengan menjual gelunganku”.
Setelah tiba di rumah, Nabi Ayyub melihat roti segar di tangan istrinya, beliau pun menaruh perhatian dan menyangka jangan-jangan istrinya telah menjual dirinya, “Hai istriku, kamu bisa membeli beberapa potong roti dapat uang darimana?”, Demi Alloh, jika Alloh memberiku kesembuhan, aku akan memukul dirimu sebanyak 100 kali”.
Dewi Rahmah tidak menjawab dengan kata-kata, ia membuka kerudungnya dan memperlihatkan pada Nabi Ayyub, rambutnya habis dijual untuk membeli makanan.
Sambil meneteskan air mata Nabi Ayyub mengadu kepada Alloh,
“Ya Alloh, telah lenyap upayaku hingga mencapai suatu masalah bahwa seorang istri nabiMu telah menukarkan rambutnya untuk membelanjai diriku”.
Sambil memotong roti dan menyuapi Nabi Ayyub, Dewi Rahmah sedikit menghibur pada suaminya, “Hai suamiku, kini janganlah bersedih, sebab rambutku dapat tumbuh lebih bagus daripada yang semula”.
Sekujur tubuh Nabi Ayyub penuh dengan penyakit, sampai banyak ulat-ulat yang memakan dirinya, setiap ulat jatuh dari tubuhnya, beliau pun mengambil dan mengembalikannya ketempat semula pada dirinya sambil mengatakan, “Makanlah pada apa-apa yang telah di rizkikan oleh Alloh kepadamu”.
Daging pada tubuhnya sudah pada habis dimakan ulat-ulat itu, sehingga kelihatan tulang-tulang, urat dan sarafnya. Ketika matahari terbit menyinari, tembuslah sinarnya dari tubuh bagian depan sampai punggungnya. Yang tersisa hanyalah hati dan lesan, sebab hatinya tidak pernah sepi selalu bersyukur kepada Alloh dan lesannya pun selalu berdzikir kepada Alloh. Keadaan sakit seperti itu beliau terima dengan sabar dan tawakal serta tidak mengeluh sedikitpun selama 18 tahun.
Pada suatu hari Dewi Rahmah berkata kepada Nabi Ayyub,
“Engkau seorang Nabi yang terhormat di sisi Tuhanmu, alangkah baiknya jika engkau memohon kepada Alloh agar menyembuhkan penyakitmu..”.
“Sudah berapa tahun masa senang kita..?” tanya Nabi Ayyub
“Sudah 80 tahun”. Jawab istrinya
“Sungguh malu rasanya jika aku berdo’a kepada Alloh, mengingat cobaan yang telah menimpa diriku belum seberapa dibandingkan dengan kesehatan dan kesenangan yang selama ini aku rakasakan”. Sahut Ayyub.
Waktu terus bergulir, sakit yang diderita Nabi Ayyub tidak semakin membaik, dan ketika tiada lagi daging pada tubuhnya yang layak dimakan, maka ulat-ulat pun saling memakan pada sesamanya, hanya tersisa dua ekor ulat yang selalu mencari sisa-sisa daging pada tubuh Nabi Ayyub dan tidak menjumpai daging sedikit pun. Salah seekor ulat yang sampai ke hati dan memakannya, sedangkan seekor lainnya sampai ke lesan dan mengigitnya pula.
Pada saat itulah Nabi Ayyub berdo’a kepada Alloh,
“Ya Alloh, sesungguhnya aku telah mendapat cobaan yang berat, dan sesungguhnya Engkau maha Pengasih dari segala pengasih”.
Do’anya Nabi Ayyub bukan berarti keluh kesah dan bukan berarti pula menyimpang dari golongan orang-orang yang bersabar. Kesedihan Nabi Ayyub bukan akibat harta dan anak-anaknya yang musnah binasa, namun rasa takut terhenti dari bersyukur dan berdzikir kepada Alloh. Dan seolah-olah beliau berdo’a, “Ya Alloh, sabarkanlah hatiku dalam menerima segala ujian dariMu sepanjang hati terus mencintaiMu dan lesan berdzikir kepadaMu, jika keduanya telah lenyap dariku, berarti terhentilah cintaku dan dzikirku kepadamu dan aku bukan tergolong orang yang bersabar”.
Kemudian Alloh menjawab,
“Hai Ayyub, kamu tidak usah bersedih sebab lesan, hati, ulat, sakit semua adalah milikku. Sungguh 70 orang Nabi telah menuntut ujian macam ini dariku, namun engkaulah yang Kupilih, untuk menambah kemulyaanmu disisiku. Dan ini bagimu hanyalah cobaan bentuk lahir saja”.
Kesedihan Ayyub saat hati dan lesannya digerogoti ulat, sebab ia senantiasa tafakkur dan berdzikir pada Allah. Akhirnya kedua ekor ulat itu pun dijatuhkan oleh Allah dari tubuhnya, seekor menjadi lintah di air yang dapat dibuat menyembuhkan orang sakit, sedang seekor lagi jatuh di darat berubah menjadi lebah yang juga madunya dibuat obat bagi manusia.
Kemudian Jibril datang dengan membawa dua buah delima surga, begitu melihat Jibril datang Nabi Ayyub langsung bertanya,
“ Hai Jibril, masih ingatkah Alloh kepadaku?”
“Tentu, bahkan Alloh kirim salam kepadamu dan menyuruh supaya engaku makan dua delima ini, nanti penyakitmu bisa sembuh, daging dan tulangmu bisa pulih kembali”. Jawab Jibril
Sesudah makan bua delima, Jibril berseru, “Hai Nabi Ayyub. Berdirilah dengan izin Alloh.”
Setelah Nabi Ayyub berdiri dengan tegak, Alloh memerintahkan kepada Nabi Ayyub, “Hai Ayyub, pukullah bumi dengan kakimu”.
Nabi Ayyub menuruti perintahnya Alloh, beliau memukul bumi dengan kaki kanannya, seketika itu keluarlah air hangat dari dalam tanah kemudian beliau mandi dengan air tersebut. Berikutnya beliau memukul bumi dengan kaki kirinya, seketika itu keluarlah air dingin yang dapat diminum olehnya. Dengan keajaiban Tuhan, segalah penyakit yang diderita Nabi Ayyub lenyap, tubuhnya menjadi lebih bagus dari yang semula, mukanya bersinar melebihi cahaya bulan.
Firman Alloh,
Lalu Kami perkenankan do’anya dan Kami lenyapkan penyakit berbahaya pada dirinya, dan Kami datangkan kepadanya seluruh keluarganya semisal mereka, sebagai rahmat dari sisi Kami dan sebagai peringatan bagi orang-orang yang beribadah”.
Semua anak-anak Nabi Ayyub meninggal dunia, setelah beliau sembuh dari sakitnya, Alloh menghidupkan anaknya dan menambah anak semisal dengan jumlah anaknya yang meninggal, yaitu tujuh orang laki-laki dan 7 orang perempuan sehingga jumlah seluruhnya menjadi 28 orang.
Kini Nabi Ayyub bisa berkumpul kembali dengan keluarganya dan merasakan kebahagiaan yang telah lama hilang. Setelah itu Nabi Ayyub mengambil dahan ranting kecil sebanyak seratus batang, lalu diikat menjadi satu. Dewi Rahmah dipukulnya sekali untuk menghilangkan sumpahnya ketika marah kepada istrinya beberapa waktu lalu. Selanjutnya mereka hidup bahagia serta menurunkan Nabi-nabi dibelakang hari.
Demikian kisah ketabahan seorang Nabi yang menderita penyakit koreng di sekujur tubuh selama 18 tahun. Ini sebagai contoh bagi orang-orang yang beribadah, supaya mereka tahu bahwa setiap orang yang menetapi barang haq pasti mendapat cobaan, dan supaya tahu tentang ujian terberat adalah  bagi para Nabi, kemudian para kekasih Alloh, selanjutnya orang-orang yang semisal mereka. Untuk itu, petiklah dari mereka, baik dalam hal amaliyah ataupun sikapnya yang penuh kesabaran. Dengan ini pula dapat diketahui bahwa, “JALAN MENUJU ALLOH/KE AMALIYAH YANG BAIK ADALAH LEBIH DEKAT DIBANDING PEMBERIAN YANG BAIK”.

KISAH NABI DAWUD DAN RAJA JALUT

Hari itu adalah hari yang suram bagi Bani Israil. Nabi sekaligus pemimpin mereka telah dipanggil menghadap Sang Pencipta. Wafatnya Nabi Musa telah meninggalkan duka yang dalam bagi orang-orang Bani Israel. Kini mereka hanya bisa memandangi sebuah peti yang diwariskan oleh Nabi mereka. Peti yang merupakan simbol kekuatan dan kejayaan Bani Israel itu berisi kitab Taurat, sorban Nabi Harun, tongkat dan sandal Nabi Musa.
Dulunya orang-orang Bani Israel rajin mempelajari dan mengamalkan isi kitab Taurat. Mereka taat beribadah kepada Alloh. Ketaatan kepada Alloh telah membawa Bani Israel menjadi bangsa yang hebat. Namun sejak mereka ditinggalkan oleh Nabi Musa, segala sesuatunya mulai berubah. Keimanan kaum Bani Israel sedikit demi sedikit mulai memudar. Peraturan-peraturan Alloh mulai diabaikan. Hawa nafsu mulai menjadi panutan. Mereka suka bertengkar satu sama lain. Hanya sedikit orang yang masih khusu’ beribadah kepada Alloh, diantaranya Samuel atau Yusa’ bin Nun, seorang hamba Alloh yang dipilih oleh Alloh meneruskan kenabian Musa dan Harun.
Lama kelamaan Bani Israel menjadi bangsa yang sombong dan takabur. Dari luar mereka kelihatan sebagai bangsa yang besar dan hebat, padahal mereka telah menjadi bangsa yang lemah dan pengecut. Sehingga dengan mudahnya kaum kafir yang dipimpin oleh raja Jalut menjajah dan menguasai Bani Israel. Peti suci Bani Israel pun jatuh ke tangan orang-orang kafir. Rakyat Bani Israel menderita, harta mereka dirampas dan mereka diusir dari tanah airnya.
Pada suatu hari mereka menemui Nabi Samuel, “Wahai Nabi…Apakah tidak ada seseorang yang dapat memimpin kami berperang melawan bala tentara Jalut?”.
Samuel terdiam. Ia teringat sifat kaum Bani Israel yang suka berbuat seenaknya kepada pemimpin mereka, bahkan peraturan Alloh pun sering mereka lawan. Sulit rasanya mencari seorang pemimpin yang saleh di kalangan mereka.
“Apakah kalian yakin akan siap berperang melawan bala tentara Jalut? Jangan-jangan ketika tiba di medan perang, kalian berlari ketakutan?” tanya Samuel.
“Mengapa kami harus takut melawn mereka! Sedangkan kami adalah bangsa yang terusir dan keadaan kami makin memburuk!”.
“Kalau memang demikian…baiklah…aku akan memohon petunjuk Alloh untuk mencari raja yang kalian inginkan”.
Berita Mengejutkan
Beberapa kari kemudian Samuel datang menemui orang-orang Bani Israel dengan membawa berita yang sangat mengejutkan..
“Sesungguhnya Alloh telah mengutus Tholut sebagai pemimpin kalian”.
“Haaahh?!…Bagaimana mungkin ia menjadi pemimpin kami? Ia adalah orang miskin yang bukan keturunan seorang pemimpin!”.
“Wahai kaum Bani Israel…Alloh telah memilih Tholut karena ia memiliki pengetahuan yang luas serta fisik yang kuat. Hidupnya sederhana dan tak pernah berkeinginan menjadi raja. Itulah ciri orang yang beriman. Kalau kalian masih ragu, lihatlah sekarang apa yang ada di rumahnya”.
Kaum Bani Israel berbondong-bondong mendatangi rumah Tholut. Ketika telah sampai di depan rumah Tholut, mereka tercengang melihat sebuah benda yang terbujur di depan pintu rumah Tholut.
“Haahh?! Bukankah ini peti suci milik bangsa kita yang telah dirampas oleh Jalut…?!”.
“Benar. Peti ini telah dirampas oleh musuh kalian. Kemudian Alloh perintah kepada malaikat untuk mengambil peti ini dan menyerahkan kembali kepada kalian. Ini adalah sebagai tanda kekuasaan Alloh sekaligus bukti bahwa Alloh telah memlih Tholut untuk menjadi raja kalian” jelas Nabi Samuel.
Akhirnya kaum Bani Israel mengakui bahwa Tholut memang orang yang pantas menjadi pemimpin mereka.
Tholut menjadi pemimpin kaum Bani Israel yang dihormati. Pembentukan pasukan Tholut pun dimulai. Semua kaum laki-laki dilatih untuk menjadi pasukan yang tangguh, karena musuh yang akan mereka hadapi cukup berat. Selain itu Tholut juga menbekali mereka dengan pengertian-pengertian tentang keyakinan.
“Yang paling utama dalam berperang adalah iman kepada Alloh. Berperang tanpa iman, kita akan lemah dan kalah walaupun bala tentara kita banyak”.
Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah bala tentara Bani Israel berjumlah 80.000 orang yang dipimpin langsung oleh Tholut. Perjalanan mereka menuju medan perang cukup jauh, mereka harus berjalan melewat hamparan padang pasir yang panas dan gunung-gunung batu yang tandus. Ketika hampir tiba di tujuan, para pasukan Tholut mulai nampak kelelahan. Rasa haus mencekik leher mereka. Tiba-tiba Tholut berseru…
“Wahai kaumku! Bersabarlah! Sebentar lagi kita akan melewati sebuah sungai…!”.
Mendengar kata-kata sungai, bala tentara Tholut kembali bersemangat. Yang terbayang oleh mereka adalah air yang bening mengalir berlimpah-limpah. Mereka akan mandi dan minum sepuas-puasnya. Namun tiba-tiba kegembiraan mereka berubah begitu mendengar peringatan dari Tholut…
“Tetapi ingat! Alloh akan menguji kalian dengan sungai itu. Kalian tidak boleh minum air sungai itu dengan berlebihan, cukup seteguk atau dua teguk saja untuk membasahi tenggorokan kalian. Siapa diantara kalian yang minum dengan berlebihan, maka kalian bukan lagi pengikutku. Yang minum sedikitlah yang tetap menjadi pengikutku!”.
Begitu pasukan Tholut sampai di sungai, banyak diantara mereka yang lupa diri. Padahal Tholut berulang-ulang mengingatkan mereka.
“Minumlah secukupnya! Minumlah secukupnya saja….! Jangan berlebihan!”.
Kaum Bani Israel itu tidak mendengar peringatan rajanya. Mereka memilih menuruti hawa nafsu dengan meminum air sepuas-puasnya. Diantara 80.000 pasukan, hanya tinggal 313 orang saja yang taat pada perintah Tholut.
Akibatnya, orang-orang yang tidak taat pada perintah Tholut satu demi satu bertumbangan. Mereka tidak kuat melanjutkan perjalanan.
Dalam hati Tholut berkata, “Hmm…Kini aku tahu siapa diantara mereka yang lemah imannya lagi pengecut dan yang kuat imannya lagi pemberani. Aku akan berperang dengan orang-orang yang memiliki keberanian dan iman yang tinggi. Meski jumlah mereka sedikit tetapi yang paling penting dalam pasukan adalah, sifat keberanian dan iman yang tinggi, bukan semata-mata jumlah pasukan dan senjata mereka”.
Menghadapi Raja Jalut
Tibalah saat-saat yang menentukan bagi pasukan Tholut. Mereka telah sampai di medan peperengan. Di kejauhan nampak pasukan musuh yang sangat kuat dan banyak sudah siap menghadang. Raja Jalut berdiri paling depan mengenakan baju besi dengan pedang terhunus. Sementara itu pasukan Tholut yang tinggal sedikit itu sebagian besar diantara mereka merasa cemas dan ketakutan.
“Bagaiman mungkin kita dapat mengalahkan pasukan yang kuat ini?”
“Tholut berusaha memberikan semangat dan membesarkan hati pasukan,
“Yang penting dalam pasukan adalah keimanan dan keberanian. Sudah banyak kelompok yang sedikit mampu mengalahkan keompok yang banyak dengan ijin Alloh. Kalian jangan cemas, Alloh pasti menolong kita!”.
Akhirnya mereka sama-sama memohon kepada Alloh…
“Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami dan kokohkanlah pendirian kami terhadap orang-orang kafir”
Pasukan Tholut dan pasukan Jalut telah berhadap-hadapan. Keduanya diam dan saling menunggu. Akhirnya hilanglah kesabaran Jalut yang telah bernafsu untuk menghancurkan pasukan Tholut. Raja kafir yang bengis itu berjalan ke tengah-tengah arena…
“Hai… Bani Israel!” suara Jalut menggelegar.
“Bukankah kalian datang kemari ingin melawanku?! Sebelum kalian berhadapan dengan pasukanku, aku menantang kalian untuk berduel satu lawan satu! Siapa yang berani melawanku, maju!”  Jalut berteriak-terian sambil mengacungkan pedangnya. Wajahnya begitu menyeramkan.
Pasukan Tholut nampak ketakutan dan kecut hatinya. Tidak ada yang berani membalas tantangan Jalut. Disaat-saat tegang itu tiba-tiba majulah seoran pemuda dari pasukan Tholut. Pemuda berbadan kecil yang pekerjaan sehari-harinya menggembala kambing itu bernama Dawud. Walaupun usianya masih dua belas tahun tetapi Dawud adalah seseorang yang memiliki ketaqwaan tinggi. Ia memahami betul bahwa keimanan dan ketaqwaan kepada Alloh adalah hakekat kekuatan di alam ini.
Dawud memohon ijin kepada Raja Tholut untuk berduel dengan Jalut. Semula sang Raja tidak mengijinkan…
“Engkau masih muda, Nak… Jangan sia-siakan nyawamu…”.
“Aku tidak takut melawan Jalut. Ijinkanlah untuk menghadapinya”.
Akhirnya Tholut memberi ijin padanya…..
‘Wahai Dawud…Seandainya engkau dapat membunuh Jalut, maka engkau akan kunikahkan dengan putriku dan kujadikan pemimpin pasukan”.
Dawud tidak peduli dengan iming-iming tersebut. Ia hanya berperang membunuh Jalut seorang laki-laki yang sombong, lalim dan tidak beriman kepada Alloh. Dawud bukanlah seorang tentara, ia hanya seorang pengembala kecil yang tidak memiliki pengalaman dalam peperangan, tidak memiliki pedang, senjata yang dimilikinya hanyalah ketepel dan potongan-potongan batu. Meskipun demikian Dawud yakin bahwa Alloh adalah sumber kekuatan hakiki. Atas dasar itulah maka ia merasa lebih kuat daripada Jalut.
Dawud maju ke medan laga dengan membawa potongan-potongan batu dan ketepel. Melihat itu, jalut tertawa terbahak-bahak…
“Ha.. haa..haa..! Mau apa kau bocah?! Mau mati konyol…?!”.
“Hai orang kafir! Aku akan melawanmu! Aku tidak takut padamu!”
Kemudian Dawud meletakkan batu di ketepelnya, lalu ia melepaskannya di udara, sehingga batu itu pun meluncur dengan kencang. Angin seolah menjadi sahabat Dawud karena ia cinta kepada Alloh, angin membawa batu itu ke dahi Jalut.
“Plettakk!” Batu itu mengenai pelipis Jalut. Tubuh besar yang dibekali dengan senjata lengkap itu terhuyung-huyung lalu… ”Gedebukk!” Jalut tersungkur ke tanah sudah tidak bernyawa lagi. Melihat pemimpin mereka mati, pasukan Jalut lari tunggang langgang.
“Horee…horee…kita menang…kita menaaang!” pasukan Tholut melompat-lompat kegirangan. Dawud digendong dan diarak kesana kemari oleh orang-orang Bani Israel.
Dawud telah mencapai puncak ketenaran ditengah-tengah kaumnya hingga ia menjadi seorang lelaki yang paling terkenal di kalangan Bani Israel. Beliau menjadi pemimpin pasukan dan menjadi suami putri Raja Tholut. Namun Dawud tidak terlena dengan kegembiraan yang dialaminya. Beliau tidak bertujuan mencari ketenaran, kedudukan maupun kehormatan. Yang beliau inginkan adalah menggapai cinta Alloh. Akhirnya setelah Raja Tholut wafat, Dawud diangkat menjadi penggantinya. Selain itu Alloh juga memilihnya menjadi Nabi untuk melanjutkan perjuangan Nabi Samuel.