Apabila kita telah yakin berada di atas jalan yang benar, diatas
Sunnah dan Qur’an, maka tetaplah waspada! Jangan cepat merasa aman.
Seiring berjalannya waktu dan kehidupan dunia ini, bisa jadi kita telah
menyimpang tanpa sadar dari jalan yang benar.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa di antara
ciri-ciri kehidupan manusia di akhir zaman (tanda-tanda hari Kiamat)
adalah munculnya fitnah (ujian/cobaan) besar berupa bercampuraduknya
kebenaran dan kebathilan. Iman menjadi goyah, sehingga seseorang
beriman pada pagi hari dan menjadi kafir pada sore hari, beriman pada
sore hari dan menjadi kafir pada pagi hari.
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bersegeralah kalian melakukan amal
shalih (sebelum datangnya) fitnah-fitnah bagaikan malam yang gelap
gulita, seseorang dalam keadaan beriman di pagi hari dan menjadi kafir
di sore hari, atau di sore hari dalam keadaan beriman, dan menjadi kafir
pada pagi hari, dia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.” (HR. Muslim, no. 186)
Godaan Dunia Paling Merusak Manusia
Kekhawatiran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam akan bahaya
godaan kesenangan dunia sehingga seorang manusia mau (sadar atau tanpa
sadar) ’menjual’ agamanya, tercermin dalam salah satu sabda beliau :
“Bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian akan tetapi yang aku khawatirkan atas kalian adalah dunia.” (HR Bukhari dan Muslim dari shahabat Amr bin Auf).
Beliau juga bersabda:
“Bukan kesyirikan yang aku khawatirkan
atas kalian, akan tetapi yang aku khawatirkan atas kalian adalah
perhiasan kehidupan dunia. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dalam Shahih beliau 6196 dan Imam Muslim no 2296 dari sahabat
‘Uqbah bin ‘Amir. Adapun riwayat dengan lafadz (masy syirku’). Wallahu
a’lam, tidak terdapat dalam lafadz keduanya. Atau mungkin salah dalam
mendengarnya, yang ada adalah lafadz di atas).
Berhati-hatilah kamu, karena tidak akan ada sekaligus pada diri
seseorang rasa cinta kepada ilmu dan cinta kepada dunia. Namun, yang
terjadi adalah apabila rasa cinta kepada dunia mendominasi, maka rasa
cinta kepada ilmu akan menyingkir, begitupun sebaliknya. Maka jika
cintamu terhadap dunia mendominasi pada dirimu, kamu pasti akan
meninggalkan ilmu dan kamu akan menyia-nyiakan dirimu. (Syaikh Muhammad
Ali Imam berkata : “Masuk ke dalam dunia adalah mudah sekali, namun
keluar darinya sungguh sangat sulit.”)
Betapa banyak orang yang telah hilang sia-sia padahal dulunya mereka
adalah penuntut ilmu dan sangat rajin menyempurnakan ibadahnya, tapi
kemudian ia bergantung kepada dunia, akhirnya hilang dan menjadi orang
yang tidak berguna.
Godaan Harta dan Kedudukan Bermula Dari Sifat Ambisius
Dalam Sunan Abu Dawud dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam:
“Berhati-hatilah kalian dari syuh
(ambisi), karena hal itu menghancurkan orang yang sebelum kalian.
Memerintahkan mereka untuk memutus hubungan silaturrahmi, maka mereka
memutusnya. Memerintahkan mereka untuk tidak berinfak, mereka pun tidak
berinfak. Memerintahkan mereka untuk berbuat jahat, mereka pun berbuat
jahat.”
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam memberitakan bahwa syuh (ambisi) itu
memaksa manusia untuk memutuskan hubungan silaturrahmi, melakukan
kejahatan, dan kebakhilan (kikir).
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:
“Tidaklah dua ekor serigala lapar yang
dilepaskan dalam sekawanan kambing akan menyebabkan daya rusak (bagi
kawanan kambing tersebut) yang lebih besar dibanding daya rusak terhadap
agama seseorang akibat ambisinya terhadap harta dan kedudukan”
(Diriwayatkan dari putra Ka’b bin Malik dari ayahnya, Hadits Shahih, HR.
Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Hibban. Lihat Shahih At-Targhib
Wat Tarhib no. 1710)
Makna hadits ini, kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala
lapar yang dibiarkan bebas di antara sekawanan kambing masih belum
seberapa apabila dibandingkan kerusakan yang muncul karena ambisi
seseorang untuk mendapatkan kekayaan dan kedudukan. Karena, ambisi untuk
mendapatkan harta dan kedudukan akan mendorong seseorang untuk
mengorbankan agamanya. Adapun harta, dikatakan merusak karena ia
memiliki potensi untuk mendorongnya terjatuh dalam syahwat serta
mendorongnya untuk berlebihan dalam bersenang-senang dengan hal-hal
mubah. Sehingga akan menjadi kebiasaannya. Terkadang ia terikat dengan
harta lalu tidak dapat mencari dengan cara yang halal, akhirnya ia
terjatuh dalam perkara syubhat (meragukan/ berpotensi bahaya). Ditambah
lagi, harta akan melalaikan seseorang dari zikrullah. Hal-hal seperti
ini tidak akan terlepas dari siapapun.
Daya rusak ambisi terhadap harta dan kedudukan akan melalui dua
langkah yang berjalan dengan mulus, tanpa sadar, tiba-tiba manusia telah
tersesat jauh dari agamanya (menyimpang tanpa sadar) , yaitu :
Mula-mula, rasa cinta harta dan kedudukan yang membuat seseorang
sangat berupaya mencarinya dari jalan-jalannya yang mubah (halal tapi
tak ada manfaatnya) namun sangat serius dalam memperolehnya dari
berbagai jalannya, dengan getol dan bersusah payah.
Dalam kondisi atau tahap ini ambisinya mungkin belum berakibat buruk
yang nyata, kecuali sekadar menyia-nyiakan umurnya, yang semestinya
dapat ia manfaatkan untuk memperoleh derajat yang tinggi dan kenikmatan
akhirat yang kekal. Umurnya dihabiskan secara sia-sia dengan ambisi
dalam mencari rezeki, yang sebenarnya rezeki telah dijamin dan
dibagi-bagikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal seseorang tidak
mendapatkan rezeki melainkan sesuai dengan apa yang telah Allah
Subhanahu Wa Ta’ala takdirkan untuknya. Seorang yang berambisi
menyia-nyiakan waktunya yang mulia dan berspekulasi dengan dirinya…
Kemudian, ambisi terhadap harta dan kedudukan telah berkembang jauh
dari yang tadinya menggunakan jalan-jalan halal yang mubah kemudian
mulai menggunakan jalan-jalan yang haram dan tidak menunaikan hak yang
wajib. Ini termasuk syuh (ambisi) yang tercela.
Ketika ambisi kepada harta itu sampai kepada derajat semacam ini,
maka dengan ini agama seseorang akan dengan nyata terkurangi. Karena ia
tidak melaksanakan kewajiban dan malah melakukan yang haram, yang
menyebabkan menurunnya agama seseorang tanpa diragukan sehingga tidak
tersisa lagi kecuali sedikit. (Syarh Hadits Ma Dzi’bani Ja’i’ani)
Perkara yang terpenting bagi seorang hamba adalah menjaga agamanya.
Serta merasa rugi apabila muncul kekurangan di dalam menjalankan agama.
Cinta seorang hamba terhadap harta dan kedudukan, upaya yang ia tempuh
untuk mendapatkannya, ambisi untuk meraih harta dan kedudukan, serta
kerelaan bersusah-payah untuk mengalahkan, hanya akan menyebabkan
kehancuran agama dan runtuhnya sendi-sendi agamanya. Simbol-simbol agama
akan terhapus. Bangunan-bangunan agamanya pun akan roboh. Ditambah lagi
bahaya yang akan ia hadapi karena menempuh sebab-sebab kebinasaan.
Waspadalah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada.kmentar yang mengarah ke tindakanspamakan dihapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.