Ulama kenamaan Imam Ghazali rahimahullah pernah menjelaskan, manusia itu ada empat jenis. Pertama, manusia yang yadri wa yadri annahu yadri. Maksudnya, orang yang tahu dan dia tahu kalau dirinya itu tahu.
Ini adalah jenis manusia yang paling baik. Jenis manusia yang memiliki
kemapanan ilmu, dan dia tahu kalau dirinya itu berilmum, maka ia
menggunakan ilmunya. Ia berusaha semaksimal mungkin agar ilmunya
benar-benar bermanfaat bagi dirinya, orang sekitarnya, dan bahkan bagi
seluruh umat manusia. Dalam bahasa pakar manajemen global, manusia
jenis ini adalah manusia yang kreatif, selalu belajar, dan tidak
berhenti berinovasi.
Manusia jenis ini adalah manusia unggul.
Dalam bahasa Syaikh Muhammad Ahmad Al Rasyid, manusia jenis inilah yang
yang mampu merubah dunia kearah yang lebih baik, mereka layak menjadi
pelopor “shina’atul hayah” atau “lifemaking”. Jumlah manusia jenis ini tidak banyak, tapi keberadaan mereka menjadi nyawa bagi kehidupan umat manusia.
Konon, kemajuan Amerika Serikat dalam
“bidang-bidang tertentu” ditentukan oleh pikiran-pikiran orang-orang
pilihan, tak lebih dari lima puluh ribu orang. Mereka bukan orang yang
suka mabuk-mabukan , dan juga bukan yang hidup glamor di Hollywood.
Mereka adalah para pemikir, para dosen
dan peneliti, para pengamat politik dan ekonomi yang kredibel, para
manajer perusahaan besar dan bank yang berpengaruh di dunia, para wakil
komunikasi dalam dan luar negeri, para anggota dan mantan anggota
kongres, tokoh-tokoh hakim dan pengacara, unsur-unsur mafia, para kepala
sindikat, orang-orang di Gedung Putih sepuluh orang di Citibank dan
Charter bank, sembilan orang di pusat Aramco, delapan orang di lobi-lobi
bank dunia, tujuh orang pimpinan redaksi, dan enam orang ketua
organisasi Yahudi dan Fremansori. Selebihnya jutaan orang lainnya hidup
di pinggir pentas peradaban Amerika.
Hal yang sama juga terjadi di Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, China, Jepang, India dan juga Indonesia.
Jenis kedua adalah manusia yang la yadri wa yadri annahu la yadri, manusia yang tidak tahu, tidak berlimu, dan dia menyadari kalau dirinya tidak berilmu.
Menurut Imam Ghazali, jenis manusia ini masih tergolong baik. Sebab,
ini jenis manusia yang bisa menyadari kekurangannnya. Ia bisa
mengintropeksi diriya dan bisa menempatkan dirinya di tempat yang
sepantasnya. Karena dia tahu dirinya tidak berilmu, maka dia belajar.
Dengan belajar itu, sangat diharapkan suatu saat dia bisa berilmu dan
tahu kalau dirinya berilmu. Meskipun tergolong baik, tapi ini bukan tipe
manusia yang bisa membuat perubahan bagi lingkungannya. Sebab, tanpa
ilmu pengetahuan yang cukup, maka manusia tidak bisa berinovasi.
Baiknya, tipe manusia ini dengan kesadaran dan akal sehatnya tidak akan
menghalangi sebuah proses perubahan kearah yang lebih baik. Dan manusia
jenis kedua ini, dia tidak akan berani nekat memegang amanah yang ia
rasa tidak memiliki kapasitas untuk memegangnya. Sebab ia tahu siapa
dirinya.
Jenis ketiga, adalah manusia yang yadri wa yaladri annahu yadri, yaitu manusia yang tahu, tapi tidak tahu kalau dirinya tahu.
Manusia yang memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah
menyadari kalau dirinya memiliki ilmu dan kecakapan. Manusia jenis ini
sering kita jumpai di sekeliling kita. Terkadang kita menemukan orang
yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa, tapi ia tidak tahu
kalau memiliki potensi.
Ada orang yang sudah puluhan tahun
belajar di pesantren. Puluhan kitab telah ia khatamkan, tapi saat ia
kembali ke tengah-tengah masyarakat, dia tidak mencerminkan sebagai
orang yang berilmu. Apa yang dia pelajari seolah tidak seolah tidak ada
bekasnya. Ia sama sekali tidak mau ikut andil memberantas kejahiliahan
yang ada di sekelilingnya. Bahkan, ia diam saja ketika ada yang
mengajarkan hal-hal yang sesat dan menyesatkan.
Manusia jenis ini menurut Imam Ghazali,
perlu disadarkan. Karena ia telah menyia-nyiakan karunia yang diberikan
Allah kepadanya. Padahal, karunia itu jika ia manfaatkan sunguh-sungguh
akan menjadi sebab mengalirnya kebaikan bagi banyak orang.
Di negari ini, sering kali kita menemukan
orang yang telah puluhan tahun belajar di dalam maupun luar negeri, ia
bahkan menyandang gelar ilmiah paling tinggi, tapi ilmu yang ia pelajari
tidak sama sekali ia amalkan. Ia bahkan bekerja di bidang yang bahkan
kurang ia kuasai. Akibatnya bidang yang sebenarnya memerlukan
spesialisasinya dinegeri ini tidak maju dan bidang yang ia garap karena
bukan spesialisasi terbaiknya juga kurang maju. Banyak alasan yang
menyebabkan fenomena ini terjadi, tapi tetap saja kondisi ini perlu
dikoreksi, demi kemajuan umat dan negeri ini.
Jenis keempat, dan ini menurut Imam Ghazali, adalah jenis manusia yang paling buruk, yaitu manusia yang la yadri wa la yadri annahu la yadri, yaitu orang yang tidak tahu tapi dia tidak tahu kalau dirinya tidak tahu.
Ini jenis manusia yang selalu merasa mengerti, selalu merasa tahu,
selalu merasa memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu apa-apa. Repotnya
manusia jenis seperti ini susah disadarkan, kalau diingatkan ia akan
membantah sebaba ia merasa tahu atau merasa lebih tahu. Jenis manusia
seperti ini, paling susah dicari kebaikannya.
Repotnya lagi dinegeri, jenis manusia
seperti ini terlalu banyak bergentayangan. Pemilu wakil rakyat beberapa
waktu yang lau adalah buktinya. Sejatinya menjadi wakil rakyat tidaklah
mudah. Karena wakil rakyat jugalah yang membuat undang-undang misalnya
harus cukup memiliki bekal ilmu hukum dan perundang-undangan. Namun,
terbukti ratusan ribu orang merasa berhak menjadi wakil rakyat. Bahkan
ada yang tidak pernah lulus sekolah dari manapun, hanya bisa baca tulis,
ia mencalonkan jadi wakil rakyat. Ijazah yang menjadi syarat
administrasi dimanipulasi. Dan ia merasa bisa menjadi wakil rakyat.
Seorang penulis pemula, ada yang datang
kepada saya. Dia bertanya kepada saya adakah memiliki buku tentang
Palestina? Saya balik bertanya buku tentang Palestina yang seperti apa?
Dia menginginkan buku tentang Palestina yang membahas tentang
geografisnya, keadaan alam dan cuacanya.
Saya lalu menjawab bahwa saya mempunyai
buku-buku Palestina, tapi dalam bahasa Arab. Dia mengatakan kalau
berbahasa Arab, maka tidak akan bisa membacanya. Saya lalu bertanya.
“Kok mencari buku Palestina, memangnya mau menulis tentang apanya?”
Dengan semangat berkobar, ia menjelaskan
akaan membuat novel tantang Palestina. Dia ingin membangkitkan semangat
juang membela Palestina. Sayapun tersenyum, saya kagum pada semangatnya
yang berapi-api. Lalu saya bertanya asal-asalan saja, saya bertanya
tentang tokoh yang sering jadi pemberitaan selama ini tentang Palestina.
“Kenal Ahmad Yasin?” Siapa itu Ahmad Yasin?”
Dia menjawab sama sekali tidak kenal.
Saya katakan bagaimana kamu mau menulis tentang Palestina kalau tokoh
seterkenal Ahmad Yasin saja kamu tidak kenal, bahkan kamu belum pernah
mendengarnya.
Penulis pemula ini tetap ngotot ingin
menulis tentang Palestina. Karena saya sangat mengargainya, saya ingin
dia matang jadi penulis yang baik, maka saya memberitahu apa yang
seharusnya ia lakukan. Ia harus banyak membaca dan mengadakan riset yang
serius. Dia sebelumnya pernah cerita ada penerbit yang memintanya
menulis tentang Palestina, maka dia mengejar itu. Dan saya tahu dia
kurang suka membaca dan pengetahuannya tentang Palestina baru sebatas
Palestina sekarang masih perang sama Israel. Maka saya katakan,
“Kira-kira bagaimana kalau ada penulis mau menulis tentang Islam, lalu
saya tanya kenal tidak kamu dengan Muhammad, dia menjawab tidak kena
sama sekali. Dan dia ngotot mau menulis kesejatian Islam, padahal dia
sama sekali tidak kenal Muhammad Saw sebagai pembawa Rialah Islam?”
Penulis pemula yang masih sangat muda
itu, lalu diam seribu bahasa. Saya ingin dia tidak termasuk golongan
jenis manusia yang keempat, manusia yang tidak tahu tapi dia tidak tahu
kalau dirinya tidak tahu. Atau manusia yang tidak tahu tetapi selalu
merasa tahu. Dan dewasa ini banyak sekali jenis manusia tipe ini yang
menulis tentang Islam, tapi dia tidak tahu Islam. Bahkan ada yang
berapi-api membela Islam, bahkan dengan menyitir puluhan ayat. Padahal na’uzubillah
pemahamannya akan Al Qur’an-menurut sebuah hadist-tidaklah melewati
tenggorokannya. Semoga kita terhindar dari sifat-sifat seperti itu.
Amin!
Habiburahhman El Shiraz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada.kmentar yang mengarah ke tindakanspamakan dihapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.